Kamis, 02 September 2010

Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s.

Sayyidah Fathimah Az-Zahra` a.s. adalah putri keempat pasangan Rasulullah SAW dan Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Julukannya antara lain az-zahra`, ash-shiddiiqah, ath-thaahirah, al-mubaarakah, az-zakiah, ar-radhiah, al-mardhiah, al-muhaddatsah dan al-batuul. Mayoritas sejarawan Ahlussunnah menetapkan bahwa ia lahir di Makkah pada tanggal 20 Jumadits Tsani 5 H.. Akan tetapi, sebagian yang lain menyatakan bahwa hal itu jatuh pada tahun 3 H, dan kelompok ketiga menetapkannya pada tahun 2 H. Salah seorang sejarawan dan ahli hadis dari kalangan Ahlussunnah menyatakan bahwa kelahirannya jatuh pada tahun 1 H.

Jelas bahwa usaha memperjelas hari kelahiran tokoh-tokoh besar sejarah meskipun dari sudut pandang historis dan riset ilmiah memiliki nilai yang besar, akan tetapi, dari sisi mengenal peran mereka dalam sejarah, hal itu tidak begitu urgen. Yang penting adalah mengetahui peran mereka dalam membentuk masa depan manusia dan sejarah.

Sayyidah Fathimah a.s. dididik di rumah ayahnya, sebuah rumah kenabian dan tempat turunnya wahyu. Rumah tempat kelahiran kelompok pertama yang beriman kepada keesaan Allah dan dengan tegar memegang iman mereka. Rumah itu adalah satu-satunya rumah dari sekian banyak rumah di jazirah Arab yang dari dalamnya berkumandang suara ‘Allahu Akbar’, dan Sayyidah Fathimah a.s. adalah satu-satunya anak wanita yang mengalami kehangatan semacam itu. Ia berada di rumah itu sendirian dan masa kecilnya ia lalui dengan segala kesendirian. Dua saudarinya, Sayyidah Ruqayah dan Sayyidah Ummi Kultsum lebih besar beberapa tahun dari dirinya. Mungkin salah satu rahasia kesendiriannya adalah supaya ia dapat memfokuskan diri terhadap penggemblengan raga dan jiwa.

Setelah menikah dengan Amirul Mukminin Ali a.s. , ia dikenal sebagai seorang wanita figur di sepanjang sejarah. Dalam kehidupan berumah tangga ia adalah seorang wanita figur, dan dalam beribadah kepada Allah ia juga dikenal sebagai wanita teladan. Setelah selasai dari semua kewajiban sebagai ibu rumah tangga, ia dengan penuh khusyu’ dan rendah hati beribadah kepada Allah serta berdoa untuk kepentingan orang lain.

Imam Shadiq a.s. meriwayatkan dari kakek-kakeknya bahwa Imam Hasan bin Ali a.s. berkata: “Di setiap malam Jumat, ibuku beribadah hingga fajar menyingsing. Ketika ia mengangkat tangannya untuk berdoa, ia selalu berdoa untuk kepentingan orang, dan ia tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri. Suatu hari aku bertanya kepadanya: “Ibu, mengapa Anda tidak pernah berdoa untuk diri Anda sendiri sebagaimana Anda mendoakan orang lain?” “Tetangga harus didahulukan, wahai putraku”, jawabnya singkat”.


Sebelum Rasulullah SAW meninggal dunia, segala kesulitan hidup yang dialaminya sirna dengan melihat wajah berseri sang ayah. Bertemu dengan sang ayah dapat membasmi semua kepenatan dan menganugerahkan ketenteraman dan kekuatan baru. Akan tetapi, meninggalnya sang ayah, terzaliminya sang suami, hilangnya kebenaran dan lebih penting dari semua itu, penyelewengan-penyelewengan yang terjadi setelah meninggalnya Rasulullah SAW dalam waktu yang sangat singkat, sangat menyakiti jiwa dan kemudian raga Sayyidah Fathimah a.s. Berdasarkan pembuktian sejarah, sebelum sang ayah meninggal dunia, ia tidak pernah memiliki penyakit raga.

Anda pasti telah mendengar cerita mereka yang datang ke rumah Sayyidah Fathimah a.s. dan ingin membakar rumah dan seluruh isinya. Peristiwa ini dengan sendirinya sudah cukup sebagai peristiwa yang sangat menyakitkannya. Apalagi jika ditambah dengan peristiwa-peristiwa lain.

Putri Rasulullah SAW terbaring di atas ranjang merintih kesakitan. Para wanita Muhajir dan Anshar mengelilinginya. Ia masih sempat melontarkan ceramah di hadapan mereka. Dan dengan menukil sebagian kecil dari ceramah tersebut, Anda akan memahami betapa ia mengeluh terhadap keadaan masyarakat kala itu yang memancing di air keruh untuk merampas wilayah dari pemiliknya yang sah.

“Demi Allah, jika mereka menyerahkan kepada Ali segala tugas yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW, ia akan membawa mereka menuju ke jalan yang lurus dan memberikan hak setiap orang kepadanya. Oh, kenapa masa ini dipenuhi oleh hal-hal yang aneh dan permainan datang silih berganti.

Mengapa kaum kalian berbuat demikian? Apa alasan mereka? Mereka adalah para pencinta yang bohong. Akhirnya mereka akan merasakan balasannya.
Mereka telah meninggalkan kepala dan memegang erat ekor. Mereka mencari (baca : mengikuti) orang-orang awam dan enggan bertanya kepada orang-orang alim. Laknat atas orang-orang bodoh dan lalim yang menganggap kelalimannya sebagai sebuah kebajikan”.
Pada akhirnya putri Rasulullah SAW itu mengucapkan selamat tinggal kepada dunia ini dan berjumpa dengan Tuhannya. Imam Ali a.s. menguburkan jasadnya pada malam hari sehingga tidak ada kesempatan bagi Sayyidina Abu Bakar untuk menghadiri penguburannya. Ia meninggal dunia sebagai syahid yang terzalimi.
Berkenaan dengan tanggal syahadahnya, para ahli hadis juga berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur adalah 13 Jumadil Ula 11 H., dan pendapat lain menyatakannya jatuh pada tanggal 3 Jumadits Tsani 11 H.

Sebuah Kalung yang Penuh Berkah
Suatu hari Rasulullah SAW duduk di masjid dan dikelilingi oleh para sahabat. Tidak lama kemudian seorang tua bangka dengan pakaian compang-camping datang menghampiri mereka. Usia tua dan kelemahan badannya telah merenggut segala kekuatan yang dimilikinya. Rasulullah SAW menghampirinya seraya bertanya tentang keadaannya. Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang papa dan lapar, berikanlah aku makanan. Aku telanjang, berikanlah kepadaku pakaian. Aku hidup menderita, tolonglah aku”. Rasulullah SAW menjawab: “Aku sekarang tidak memiliki sesuatu (yang dapat kuberikan kepadamu). Akan tetapi, orang yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, sebenarnya ia juga memiliki saham dalam kebaikan tersebut”.

Setelah berkata demikian, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk pergi ke rumah Sayyidah Fathimah a.s. Ia pergi ke rumahnya dan sesampainya di sana ia menceritakan segala penderitaannya. Ia menjawab: “Aku pun sekarang tidak memiliki sesuatu (yang dapat kuberikan kepadamu)”. Setelah berkata demikian, ia melepas kalung yang dihadiahkan oleh putri Hamzah bin Abdul Muthalib kepadanya dan memberikannya kepada pria tua itu seraya berkata: “Juallah kalung ini, insya-Allah engkau akan dapat memenuhi kebutuhanmu”.

Setelah mengambil kalung tersebut pria tua itu pergi ke masjid. Rasulullah SAW masih duduk bersama para sahabat kala itu. Pria tua itu berkata: “Wahai Rasulullah, Fathimah memberikan kalung ini kepadaku untuk dijual demi memenuhi segala kebutuhanku”. Rasulullah terisak menangis. Amar Yasir berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Anda mengizinkan kalung ini kubeli?” “Siapa yang membelinya, semoga Allah tidak mengazabnya”, jawab Rasulullah SAWW singkat.

Amar Yasir bertanya kepada pria tua itu: “Berapa kamu mau menjualnya?” “Aku akan menjualnya seharga roti dan daging yang dapat mengenyangkanku, pakaian yang dapat menutupi badanku dan 10 Dinar sebagai bekalku pulang menuju rumahku”, jawabnya pendek.

Amar Yasir berkata: “Kubeli kalung ini dengan harga 20 Dinar emas, makanan, pakaian dan kuda (sebagai tungganganmu pulang)”. Ia membawa pria tua itu ke rumahnya, lalu diberinya makan, pakaian, kuda dan 20 Dinar emas yang telah disepakatinya. Setelah mengharumkan kalung tersebut dengan minyak wangi dan membungkusnya dengan kain, ia berkata kepada budaknya: “Berikanlah bungkusan ini kepada Rasulullah, dan aku juga menghadiahkanmu kepada beliau”.

Rasulullah SAW akhirnya menghadiahkan kalung dan budak tersebut kepada Sayyidah Fathimah a.s. kemudian Sayyidah Fathimah a.s. mengambil kalung tersebut dan berkata kepada budak itu: “Aku bebaskan engkau di jalan Allah”. Budak itu tersenyum. Sayyidah Fathimah a.s. menanyakan mengapa ia tersenyum. Ia menjawab: “Wahai putri Rasulullah, kalung ini yang membuatku tersenyum. Ia telah mengenyangkan orang yang kelaparan, memberikan pakaian kepada orang-orang yang tak berpakaian, menjadikan orang fakir kaya, memberikan tunggangan kepada orang yang tidak punya tunggangan, membebaskan budak dan akhirnya ia kembali pemilik aslinya”.

Peranan Sayyidah Fathimah a.s. dalam Peperangan-peperangan di Awal Munculnya Islam
Selama sepuluh tahun Rasulullah SAWW memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Kadang-kadang karena jarak yang amat panjang antara Madinah dan medan perang, mereka harus meninggalkan kota pusat Islam selama kurang lebih dua atau tiga bulan. Selama hidup berumah tangga dengan Sayyidah Fathimah Az-Zahra` a.s., Imam Ali a.s. banyak melalui waktu-waktunya di medan jihad atau di medan tabligh. Selama suaminya tercinta tidak berada di rumah, Sayyidah Fathimah a.s. mengambil alih tugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak mereka. Dan tugas ini dilaksanakannya dengan baik sehingga suaminya sebagai seorang prajurit Islam dapat menjalankan tugasnya dengan sempurna.

Selama masa-masa genting itu, Sayyidah Fathimah a.s. selalu membantu para keluarga prajurit dan syuhada Islam dan turut menghibur mereka. Dan kadang-kadang ia juga mengobati luka-luka yang dialami oleh keluarganya.

Pada peristiwa perang Uhud, Sayyidah Fathimah a.s. turut menghadiri peperangan tersebut bersama wanita-wanita yang lain. Di perang ini, Rasulullah SAW luka parah dan Imam Ali a.s. juga mengalami luka yang tidak kalah parahnya. Fathimah a.s. mencuci darah dari wajah sang ayah dan Imam Ali a.s. yang menuangkan air dengan perisainya. Ketika melihat darah di wajahnya tidak kunjung berhenti mengalir, Sayyidah Fathimah a.s. mengambil setangkai pelepah kurma lalu dibakarnya. Setelah menjadi abu, ia melumurkan abu tersebut di atas luka sang ayah supaya darahnya berhenti mengalir. Rasulullah SAW dan Imam Ali a.s. menyerahkan pedang mereka kepada Sayyidah Fathimah a.s. untuk dicuci.

Di perang ini Sayyidina Hamzah meneguk cawan syahadah. Setelah perang usai, Shafiah, saudari Sayyidina Hamzah bersama Sayyidah Fathimah a.s. duduk bersimpuh di sisi jenazah Sayyidina Hamzah yang sudah terkoyak-koyak sambil menangis. Rasulullah SAW juga turut serta menangis seraya berkata kepada Sayyidina Hamzah: “Tidak ada musibah yang pernah kami alami seperti musibah yang telah menimpamu”. Setelah itu ia berkata kepada mereka berdua: “Kabar gembira buat kalian. Baru saja malaikat Jibril membawa berita bahwa di tujuh langit Hamzah sudah dikenal sebagai singa Allah dan Rasul-Nya”.

Setelah perang Uhud usai, selama Sayyidah Fathimah a.s. hidup ia selalu pergi berziarah ke kuburan syuhada Uhud setiap hari sebanyak dua atau tiga kali.

Di perang Khandaq, Sayyidina Fathimah a.s. mengantarkan sepotong roti kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bertanya: “Apa ini?” “Aku memasak roti. Hatiku tidak tenang sebelum mengantarkan roti ini kepadamu”, jawabnya. “Ini adalah makanan pertama yang kusantap setelah tiga hari kelaparan”, kata Rasulullah SAW.

Di perang Mu`tah, Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib meneguk cawan syahadah. Rasulullah SAW pergi ke rumahnya untuk menjenguk keluarganya. Setelah itu, ia pergi ke rumah Sayyidina Fathimah a.s. Ia menangis terisak. Rasulullah SAW bersabda: “Menangislah untuk orang-orang seperti Sayyidina Ja’far. Sediakanlah makanan untuk keluarganya. Karena mereka pada hari-hari ini telah lupa kepada diri mereka sendiri”.

Pada peristiwa pembebasan kota Makkah, Sayyidah Fathimah a.s. juga ikut hadir secara aktif. Ummi Hani`, saudari Imam Ali a.s. bercerita: Pada peristiwa pembebasan kota Makkah, aku melindungi dua orang dari kerabat suamiku yang masih musyrik di rumahku. Dan hingga kini mereka masih berada di rumahku. Tiba-tiba dengan menunggangi kuda dan berpakaian besi lengkap, Ali a.s. tiba di rumahku dan menghampiri mereka. Aku memisah dan berdiri di tengah-tengah mereka seraya berkata: “Jika engkau ingin membunuh mereka, engkau harus membunuhku terlebih dahulu”. Ali a.s. keluar dari rumhku. Hampir saja ia membunuh kedua orang tersebut. Aku pergi menemui Rasulullah SAW di kemahnya yang berada di Bathha`. Tapi aku tidak menjumpainya. Akhirnya aku melihat Sayyidah Fathimah a.s. dan kuceritakan semua yang sudah terjadi. Ternyata ia lebih tegas dari suaminya. Ia berkata kepadaku dengan penuh keheranan: “Apakah engkau masih melindungi musyrikin?” Pada saat itu Rasulullah SAW tiba dan aku memintakan suaka politik darinya untuk mereka. Ia menyetujuinya. Setelah itu ia menyuruh Sayyidah Fathimah a.s. untuk menyediakan air dan kemudian ia mandi. Di bulan Ramadhan 10 H., Imam Ali a.s. mendapat perintah dari Rasulullah SAW untuk bertabligh ke Yaman dengan membawa pasukan yang berjumlah tiga ratus penunggang kuda. Instruksi tersebut dapat ia laksanakan dengan baik dan banyak sekali penduduk Yaman yang memeluk agama Islam. Ia menyampaikan segala kegiatannya di Yaman melalui surat. Pada sebuah kesempatan Rasulullah SAW menjawab bahwa untuk melaksanakan ibadah haji ia harus secepatnya sampai di Makkah. Dan pembawa surat Rasulullah SAW itu kembali bersama Imam Ali a.s.

Di bulan Dzul Qa’dah tahun itu juga Rasulullah SAW mengumumkan kepada penduduk Madinah dan kabilah-kabilah yang berdekatan bahwa ia ingin melaksanakan haji. Dengan demikian mereka telah mempersiapkan diri untuk melakukan kewajiban agung tersebut.

Rasulullah SAW berangkat dari Madinah pada tanggal 25 Dzul Qa’dah 10 H. dan memulai ihram dari Dzul Hulaifah. Semua istrinya pada kesempatan ini ikut serta bersamanya. Sayyidah Fathimah a.s. juga tidak mau ketinggalan. Setelah tiga bulan melaksanakan tugas, Imam Ali a.s. berhasil sampai di Makkah untuk melaksanakan haji dan melihat istrinya tercinta saat itu juga. Setelah melaksanakan kewajiban haji yang dikenal dengan haji wada’, di tengah perjalanan pulang ke Madinah tepatnya di daerah yang bernama Ghadir Khum Rasulullah SAW memproklamasikan keimamahan Imam Ali a.s. atas dasar perintah Allah. Dengan kehadiran Sayyidah Fathimah a.s. di haji wada’, dapat disimpulkan bahwa ia juga menghadiri pelantikan Ghadir Khum.

Sayyidah Fathimah Az-Zahra` a.s. di masa-masa terakhir Kehidupan Rasulullah SAW
Di akhir-akhir umurnya penyakit Rasulullah SAW bertambah parah. Di sisi sang ayah, Sayyidah Fathimah a.s. menatap wajah ayahnya yang bercahaya dan mengalirkan keringat dingin. Sambil menangis ia menatap ayahnya. Sang ayah tidak tega melihat putrinya menangis dan gelisah. Akhirnya sang ayah membisikkan sebuah ucapan di telinganya sehingga ia tenang dan tersenyum. Senyumnya pada masa-masa krisis seperti itu terlihat sangat aneh. Mereka bertanya kepadanya: “Rahasia apakah yang telah ia ucapkan?” Ia hanya menjawab: “Selama ayahku hidup aku akan bungkam seribu bahasa”. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, ia membongkar rahasia itu. Sayyidah Fathimah a.s. berkata: “Ayahku mengatakan kepadaku bahwa engkau adalah orang pertama dari Ahlul Baitku yang akan menyusulku. Oleh karena itu, aku bahagia”.

Kedudukan Ahlul Bait a.s. di sisi Allah
“Panjatkanlah puja kepada Dzat yang karena keagungan dan cahaya-Nya seluruh penduduk langit dan bumi mencari perantara untuk menuju kepada-Nya. Kami adalah perantara-Nya di antara makhluk-Nya, kami adalah orang-orang keistimewaan-Nya dan tempat menyimpan kesucian-Nya, kami adalah hujjah-Nya berkenaan dengan rahasia ghaib-Nya, dan kami adalah pewaris para nabi-Nya”.

Segala yang memabukkan adalah haram
Rasulullah SAWW pernah bersabda kepadaku: “Wahai kekasih ayahnya, segala yang memabukkan adalah haram, dan segala yang memabukkan adalah khamar”.

Wanita terbaik
“Yang baik bagi wanita, hendaknya ia tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihatnya”.

Hasil ibadah yang disertai ikhlas
“Orang yang menghadiahkan kepada Allah ibadahnya yang murni, maka Ia akan menurunkan kepadanya kemaslahatannya yang terbaik”.

Umat yang paling buruk
Sayyidah Fathimah a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Umatku yang terburuk adalah mereka yang berlimpahan nikmat, makan makanan yang berwarna-warni, memakai pakaian yang beraneka ragam dan mengucapkan segala yang diinginkan”.

Muslim pertama dan yang paling alim
Fathimah a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Suamimu adalah orang yang paling alim, orang yang pertama masuk Islam dan orang yang paling penyabar”.

Menolong keturunan Rasulullah SAWW
Fathimah a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Jika seseorang pernah menolong seorang dari keturunanku dan ia belum membalasnya, maka aku yang akan membalasnya”.

Sayyidah Fathimah a.s. berkata: Rasulullah pernah berpesan kepadaku: “Jauhilah sifat kikir, karena kikir adalah sebuah penyakit yang tidak akan menjangkiti orang dermawan. Jauhilah sifat kikir, karena sifat kikir adalah sebuah pohon di neraka yang ranting-rantingnya menjulur ke dunia. Barang siapa yang berpegang teguh kepada sebatang rantingnya (di dunia), maka tangkai tersebut akan menyeretnya ke dalam neraka”.

Senyum yang penuh rahasia
Sayyidah Aisyah bercerita: Ketika Rasulullah SAW sedang sakit parah, ia memanggil putrinya seraya membisikkan sesuatu di telinganya. Fathimah a.s. menangis. Kemudian ia membisikkan sesuatu untuk kedua kalinya. Fathimah a.s. tersenyum. Setelah itu aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Ia menjawab: “Tangisku karena Rasulullah SAW memberitahu kepadaku bahwa ia akan segara meninggal dunia, dan senyumku karena ia memberitahu kepadaku bahwa aku adalah orang pertama yang akan menyusulnya”.

Rasulullah SAW adalah ayah bagi keturunan Sayyidah Fathimah a.s.
Fathimah a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan setiap keturunan yang berasal dari seorang ibu sebagai keluarga yang berhubungan nasab langsung dengannya kecuali keturunan Fathimah. Karena aku adalah wali mereka (dan nasab mereka menyambung kepadaku)”.

Rasulullah SAW dan Ahlul Bait a.s.
Fathimah a.s. bercerita: Suatu hari aku bertamu ke rumah Rasulullah SAWW. Ia membentangkan sehelai kain seraya berkata kepadaku: “Duduklah di atasnya”. Tak lama kemudian Hasan masuk. Rasulullah SAWW berkata kepadanya: “Duduklah bersama ibumu”. Selang beberapa waktu Husein masuk. Ia berkata kepadanya: “Duduklah bersama mereka berdua”. Kemudian Ali masuk. Ia berkata kepadanya: “Duduklah bersama mereka”. Setelah itu Rasulullah SAWW melipat kain tersebut sehingga menutupi kami seraya berkata: “Mereka adalah dariku dan aku dari mereka. Ya Allah, ridhailah mereka sebagaimana aku ridha atas mereka”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar