Kamis, 02 September 2010

Sayyidah Aisyah Al Ridho a.s.

Sayyidah Aisyah a.s. memiliki gelar ash-Shiddiqah, sering dipanggil dengan Ummu Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah. Kadang-kadang ia juga dijuluki Humaira’. Namun Rasulullah sering memanggilnya Binti ash-Shiddiq. Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki dengan Abu Bakar. Ia terkenal dengan gelar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Ruman. Ia berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi di pihak ayahnya dan dari kabilah Kinanah di pihak ibu.

Sementara itu, garis keturunan Sayyidah Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.

Sayyidah Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan dengan bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu, tidak ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq RA dalam hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam. Rumah Sayyidina Abu Bakar RA saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam pertama terpancar dengan terang.

Dari perkembangan fisik, Sayyidah Aisyah termasuk perempuan yang sangat cepat tumbuh dan berkembang. Ketika menginjak usia sembilan atau sepuluh tahun, ia menjadi gemuk dan penampilannya kelihatan bagus, padahal saat masih kecil, ia sangat kurus. Dan ketika dewasa, tubuhnya semakin besar dan penuh berisi. Sayyidah Aisyah adalah wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik. Oleh karena itu, ia dikenal dengan julukan Humaira’ (yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang manis, tubuhnya langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya cerah.

Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Sayyidah Aisyah masih kecil pada perilaku dan gerak-geriknya. Namun, seorang anak kecil tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil, Aisyah tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah SAW di setiap kesempatan.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Sayyidah Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah, setelah wafatnya Sayyidah Khadijah. Setelah dua tahun wafatnya Khadijah, turunlah wahyu kepada kepada Rasulullah SAW untuk menikahi Sayyidah Aisyah, kemudian Rasulullah SAW segera mendatangi Sayyidina Abu Bakar dan istrinya, mendengar kabar itu, mereka sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka. Maka dengan segera disuruhlah Sayyidah Aisyah menemui beliau.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Sayyidah Aisyah terjadi di Mekkah sebelum hjirah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika dinikahi Rasulullah SAW, Sayyidah Aisyah masih sangat belia. Di antara istri-istri yang beliau nikahi, hanyalah Aisyah yang masih dalam keadaan perawan. Sayyidah Aisyah menikah pada usia 6 tahun. Tujuan inti dari pernikahan dini ini adalah untuk memperkuat hubungan dan mempererat ikatan kekhalifahan dan kenabian. Pada waktu itu, cuaca panas yang biasa dialami bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan kemampuan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk tumbuh dan berkembang secara dini.

Pada waktu itu, karena Ssayyidah Aisyah masih gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan Sayyidah Aisyah. Bahkan beliau membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya. Kemudian, ketika Sayyidah Aisyah berusaha 9 tahun, Rasulullah SAW menyempurnakan pernikahannya dengan Sayyidah Aisyah. Dalam pernikahan itu, Rasulullah SAW memberikan maskawin 500 dirham. Setelah pernikahan itu, Sayyidah Aisyah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah SAW.

Pernikahan seorang tokoh perempuan dunia tersebut dilangsungkan secara sederhana dan jauh dari hura-hura. Hal ini mengandung teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi seluruh muslimah. Di dalamnya terkandung hikmah dan nasehat bagi mereka yang menganggap penikahan sebagai problem dewasa ini, yang hanya menjadi simbol kemubaziran dan hura-hura untuk menuruti hawa nafsu dan kehendak yang berlebihan.

Dalam hidupnya yang penuh jihad, Sayyidah Aisyah wafat dikarenakan sakit pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 Hijriah. Ia dimakamkan di Baqi’. Sayyidah Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam Selasa tanggal 17 Ramadhan) setelah shalat witir. Ketika itu, Sayyidina Abu Hurairah RA datang lalu menshalati jenazah Sayyidah Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para penduduk yang tinggal di kawasan-kawasan atas pun turun dan datang melayat. Tidak ada seorang pun yang ketika itu meninggal dunia dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat wafatnya Sayyidah Aisyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar