Sabtu, 11 September 2010

Jika Wanita Menangis



Jika seorang wanita menangis
dihadapanmu,
Itu berarti dia tak dapat menahannya lagi.

Jika kamu memegang tangannya saat dia
menangis,
Dia akan tinggal bersamamu sepanjang
hidupmu.

Jika kamu membiarkannya pergi,
Dia tidak akan pernah kembali lagi menjadi
dirinya yang dulu.
Selamanya....

Seorang wanita tidak akan menangis
dengan mudah,
Kecuali didepan orang yang amat dia
sayangi.
Dia menjadi lemah.

Seorang wanita tidak akan menangis
dengan mudah,
Hanya jika dia sangat menyayangimu,
Dia akan menurunkan rasa egoisnya.

Lelaki, jika seorang wanita pernah
menangis karena mu,
Tolong pegang tangannya dengan
pengertian.

Dia adalah orang yang akan tetap
bersamamu sepanjang hidupmu.

Lelaki, jika seorang wanita menangis
karenamu.
Tolong jangan menyia-nyiakannya.

Mungkin karena keputusanmu, kau merusak
kehidupannya.

Saat dia menangis didepanmu,
Saat dia menangis karnamu,

Lihatlah matanya....

Dapatkah kau lihat dan rasakan sakit yang
dirasakannya?


Pikirkan....

Wanita mana lagikah yang akan menangis
dengan murni, penuh rasa sayang,
Didepanmu dan karenamu......

Dia menangis bukan karena dia lemah
Dia menangis bukan karena dia
menginginkan simpati atau rasa kasihan

Dia menangis,
Karena menangis dengan diam-diam
tidaklah memungkinkan lagi.

Lelaki

Pikirkanlah tentang hal itu

Jika seorang wanita menangisi hatinya
untukmu,
Dan semuanya karena dirimu.

Inilah waktunya untuk melihat apa yang telah
kau lakukan untuknya,
Hanya kau yang tahu jawabannya....

Pertimbangkanlah

Karena suatu hari nanti
Mungkin akan terlambat untuk menyesal,
Mungkin akan terlambat untuk bilang 'MAAF'!!

Jumat, 03 September 2010

Adab Terhadap Kedua Orang Tua

Seorang Muslim tentu mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya dan kewajiban berbakti, menaati dan berbuat baik terhadap keduanya. Bukan hanya karena mereka berdua menjadi sebab keberadaannya, atau karena mereka telah berbuat baik terhadapnya dan memenuhi kebutuhannya, atau karena mereka adalah manusia paling berjasa dan utama bagi dirinya, akan tetapi lebih dari itu karena Allah Ta’ala telah menetapkan kewajiban atas anak untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, bahkan perintah tersebut penyebutannya disertakan dengan kewajiban hamba yang paling utama yaitu kewajiban beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukanNya. Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)

Hak kedua orang tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, berikut ini adalah beberapa petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbakti kepada kedua orang tua baik semasa hidup keduanya atau sepeninggal mereka.

Hak-Hak yang Wajib Dilaksanakan Semasa Hidup Orang Tua.

1. Menaati mereka selama tidak mendurhakai Allah Ta’ala.
Menaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap muslim, sedang mendurhakai keduanya merupakan perbuatan yang diharamkan, kecuali jika mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah Ta’ala (berbuat syirik) atau bermaksiat kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, ….” (QS.Luqman:15)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan”. (HR. Al-Bukhari)

2. Berbakti dan merendahkan diri di hadapan kedua orang tua
Allah Ta’ala berfirman, artinya, “…dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan «ah» dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” (QS. Al-Israa’: 23-24)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi orang yang mendapatkan kedua orang tuanya yang sudah renta atau salah seorang dari mereka kemudian hal itu tidak dapat memasukkannya ke dalam surga.” (HR.Muslim)

Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti mereka, walaupun berupa isyarat atau dengan ucapan ‘ah’, tidak mengeraskan suara melebihi suara mereka. Rendahkanlah diri dihadapan keduanya dengan cara mendahulukan segala urusan mereka.

3. Berbicara dengan lemah lembut di hadapan mereka

4. Menyediakan makanan untuk mereka
Hal ini juga termasuk bentuk bakti kepada kedua orang tua, terutama jika hal tersebut merupakan hasil jerih payah sendiri. Lebih-lebih jika kondisi keduanya sudah renta. Sudah seyogyanya, mereka disediakan makanan dan minuman yang terbaik dan lebih mendahulukan mereka berdua dari pada dirinya, anaknya dan istrinya.

5. Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan pergi untuk urusan lainnya
Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan (kewajibannya untuk dirinya-pent). Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya, ‘Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?’ Laki-laki tersebut menjawab, ‘Masih’. Beliau bersabda, ‘Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim), dan masih banyak hadits yang semakna dengan hadits tersebut.

6. Memberikan harta kepada orang tua sebesar yang mereka inginkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata, “Ayahku ingin mengambil hartaku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil, serta telah berbuat baik kepadanya.

7. Membuat keduanya ridha dengan berbuat baik kepada orang-orang yang dicintainya.
Hendaknya seseorang membuat kedua orang tuanya ridha dengan berbuat baik kepada orang-orang yang mereka cintai. Yaitu dengan memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka, dan lain sebagainya.

8. Memenuhi sumpah / Nazar kedua orang tua
Jika kedua orang tua bersumpah untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena hal itu termasuk hak mereka.

9. Tidak Mencaci maki kedua orang tua.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki orang tuanya.” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa ada orang yang mencaci maki orang tuanya?’ Beliau menjawab, “ Ada. ia mencaci maki ayah orang lain kemudian orang tersebut membalas mencaci maki orang tuanya. Ia mencaci maki ibu orang lain lalu orang itu membalas mencaci maki ibunya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Terkadang perbuatan tersebut tidak dirasakan oleh seorang anak, dan dilakukan dengan bergurau padahal hal ini merupakan perbuatan dosa besar.

10. Mendahulukan berbakti kepada ibu daripada ayah
Seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” beliau menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau kembali menjawab, “Ibumu”. Lelaki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu”. Lalu siapa lagi? Tanyanya. “Ayahmu,” jawab beliau.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas tidak bermakna lebih menaati ibu daripada ayah. Sebab, menaati ayah lebih didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dalam hal yang dibolehkan syari’at. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan taat kepada suaminya.

Maksud ‘lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu’ dalam hadits tersebut adalah bersikap lebih halus dan lembut kepada ibu daripada ayah. Sebagian Ulama salaf berkata, “Hak ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi.”

11. Mendahulukan berbakti kepada kedua orang tua daripada berbuat baik kepada istri.
Di antara hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua lalu mereka tidak bisa keluar kemudian mereka bertawasul dengan amal baik mereka, di antara amal mereka, ‘ada yang mendahulukan memberi susu untuk kedua orang tuanya, walaupun anak dan istrinya membutuhkan’.


Hak-Hak Orang Tua Setelah Mereka Meninggal Dunia

1. Mengurus jenazahnya dan banyak mendoakan keduanya, karena hal ini merupakan bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya.

2. Beristighfar (memohonkan ampun kepada Allah Ta’ala) untuk mereka berdua, karena merekalah orang yang paling utama untuk didoakan agar Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa mereka dan menerima amal baik mereka.

3. Menunaikan janji dan wasiat kedua orang tua yang belum terpenuhi semasa hidup mereka, dan melanjutkan amal-amal baik yang pernah mereka kerjakan selama hidup mereka. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amal baik tersebut dilanjutkan.

4. Memuliakan teman atau sahabat dekat kedua orang tua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik adalah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya meninggal”. (HR. Muslim)

5. Menyambung tali silaturrahim dengan kerabat Ibu dan Ayah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang ingin menyambung silaturrahim ayahnya yang ada dikuburannya, maka sambunglah tali silaturrahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal”. (HR. Ibnu Hibban).

Semoga petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbakti kepada kedua orang tua di atas dapat kita wujudkan dalam kehidupan kita. Karena hal tersebut merupakan hak mereka berdua sekaligus sebagai kewajiban kita sebagai anak yang shalih untuk melakukannya. Wallahu a’lam.

Kemuliaan Akhlak Baginda Nabi Muhammad SAW

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW yang dihinanya setiap hari. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”

Aisyah RA menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu pun kebiasaan Rasulullah yang belum ayah lakukan kecuali satu saja.” “Apakah Itu?,” tanya Abubakar RA. “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan
makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana,” kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, sipengemis marah sambil menghardik, ”Siapakah kamu?” Abubakar RA menjawab, ”Aku orang yang biasa (mendatangi engkau).”
”Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” bantah si pengemis buta itu.

”Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, ”Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”

Mendengar penjelasan Abubakar RA, seketika itu juga pengemis itu meledak tangisnya, sangat menyesal, dan dalam basahnya air mata ia berkata, ”Benarkah itu? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tapi ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia, begitu agung…. ”


Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

Keindahan Akhlak Baginda Nabi Muhammad SAW

Kata khuluq yang berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti ciptaan. Bedanya adalah kalau khalq lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.
Seorang sahabat pernah mengenang Nabi yang mulia SAW dengan kalimat :
“Bahwa Rasulullah saw adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq”. Dengan kata lain, Nabi Muhammad saw adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriyah maupun batiniyahnya.”

Kesempurnaan lahiryah beliau sering kita dengar dari riwayat-riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya, mendeskripsikan sifat-sifat lahiriyah Nabi SAW seperti berikut:
“Nabi Muhammad saw adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang. Postur tubuhnya tegap. Rambutnya ikal dan panjang yang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan tampak timbul di saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang di bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat. Pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya. Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit dan banyak merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam.”

Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manusia yang agung seperti ini banyak kita temukan di dalam kitab-kitab Maulid yang lazim dibaca di tanah air kita, seperti Barzanji, Diba`, Simthu ad-Durar dan sebagainya. Kita dibawa hanyut oleh para perawi tentang bentuk lahiriyah Nabi SAW. Sesuatu yang meskipun indah dan sempurna, namun tidak menjadi fokus pandangan Al-Quran terhadapnya.

Lalu, apa yang menjadi fokus pandangan Al-Quran terhadap Nabi SAW?. Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaknya, seperti pada ayat di atas. Apa arti akhlak? Kata Imam Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. la bisa indah dan bisa juga buruk.
Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu meletakkan ‘Aqliyyah (Kejernihan fikir), Ghadhabiyyah (Emosi/Kemarahan), Syah-waniyyah (Keinginan-keinginan Syahwat) dan Wahmiyyah (Angan-angan) secara proporsional dalam jiwa manusia, Serta mampu meletakkan dan menggunakan secara adil dalam dirinya. Manusia yang berakhlak baik adalah orang yang tidak berlaku ifrath alias eksesif atau melampau batas dalam menggunakan empat hal di atas, dan juga tidak bersifat tafrith atau menyia-nyiakan/mengabaikannya secara total. la akan sangat adil dan proporsional di dalam menggunakan keempat anugerah Ilahi itu.

Dengan kata lain akhlak yang baik adalah suatu keseimbangan yang sangat adil yang dilakukan oleh seseorang ketika berhadapan dengan empat fakultasnya di atas. la tidak ifrath di dalam menggunakan rasionalitasnya sehingga mengabaikan wahyu, dan juga tidak tafrith sehingga menjadi bodoh. la tidak ifrath di dalam menggunakan ghadhab atau emosinya sehingga menjadi agresor, namun tidak juga tafrith sehingga menjadi pengecut. la tidak ifrath di dalam syahwatnya sehingga menghambur-hamburkan nafsunya, namun juga tidak tafrith seperti biarawan-biarawati. la mampu meletakkannya secara seimbang sehingga ia membagi secara adil mana hak dunianya dan mana hak akhiratnya. Kemampuan itu disebut dengan al-Khuluqul hasan

Orang yang menyandang sifat ini, di kedalaman jiwanya sudah pasti memantulkan suatu bentuk yang sangat indah secara lahiriah di dalam segala aspek kehidupannya sehari-hari ; yang -seperti kata sebuah riwayat- dari pancaran wajahnya akan memantul sebuah energi yang akan mengingatkan orang kepada Allah SWT. Sedang untaian kata-katanya akan menimbulkan aura menambahkan ilmu. Pada setiap orang yang mendengarnya dari akhlak lahiriyahnya bisa menyadarkan orang dari kelalainnya. Akhlak seperti inilah yang diuswahkan Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21)

Itulah misi utama beliau SAW :
“Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.”

Keluhuran akhlak Nabi SAW ini adalah cermin yang bersih dan indah yang membawa kita untuk bisa berkaca dengannya di dalam kehidupan kita sesama manusia dalam segala lapisannya. Sebab akhlak Nabi adalah cerminan Al-Qur`an yang sesungguhnya. Bahkan beliau sendiri adalah Al-Qur`an hidup yang hadir di tengah-tengah ummat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan Al-Qur`an. Itulah kenapa ‘Aisyah sampai berkata:
“akhlak Nabi adalah Al-Quran.”

Akhlak alkarimah menjadi kunci keberhasilan beliau membangun bangsa dari kenistaan kearah keniscayaan. Beliau SAW menjanjikan bahwa akhlaq yang lurhurlah menjadi beratnya timbangan amal di akherat :
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya (kelak diakherat) dari pada akhlak yang mulia.”

Saatnya kita mengedepakan akhlaq alkarimah diatas yang lain. Mendahulukan akhlak alkarimah diatas perbedaan. Mendahulukan akhlak alkarimah diatas kepentingan, bahkan bila perlu dahulukan akhlak karimah diatas Fiqih.

Mudah-mudahan kita semua menjadi manusia yang berakhlak mulia, dan selalu memperoleh pancaran nur akhlak kemuliaan Baginda Nabi Muhammad SAW .. Aaamiin..

Kamis, 02 September 2010

As Sayyid Abdurrahman Ad Diba’i (Shohibul Maulid)


Sang Penyair yang Rendah Hati
(866 H. – 944 H.)

Wahai purnama yang memiliki segala kesempurnaan
Dengan ucapan apa bisa kuungkapkan kemuliaanmu

Maqbarah Syeikh Isma'il Jabarti (Zabid) yang di dalamnya terdapat maqam Abdurrahman Ad Diba'i

Pelantun syair pujian atas Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan Maulid Diba` ini, bernama lengkap Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar Ad Diba`i Asy Syaibaniy, beliau juga dikenal dengan julukan Ibn Diba`. Sebenarnya kata "Diba`" adalah julukan (laqob) kakeknya yang bernama Ali bin Yusuf Diba` yang dalam bahasa Sudan berarti putih. Dalam kitabnya yang berjudul Bughyatul Mustafid, beliau menuliskan di bagaian akhir kitab tersebut tentang sekilas riwayat hidupnya. Disebutkan bahwa beliau dilahirkan di kota Zabid (salah satu kota di Yaman utara) pada sore hari Kamis, 4 Muharram, 866 H.

Sekilas Geografis Zabid
Zabid adalah salah satu kota tua yang terletak di Yaman utara. Sekarang kota Zabid termasuk dalam kawasan propinsi Hudaidah. Letak geografisnya berada di tengah-tengah lembah Zabid, yang berjarak 40 kilometer dari laut merah. Dahulu kota Zabid dikenal juga dengan nama "Hushoib".
Zabid merupakan salah satu kota pusat keilmuan di Yaman, di mana sejarah mencatat banyak ulama-ulama dari berbagai penjuru belahan dunia yang datang untuk menuntut ilmu atau sekedar mencari sanad hadis di kota ini. Bahkan tak jarang dari mereka yang akhirnya enggan kembali ke daerah asalnya dan memilih untuk tinggal di kota Zabid sampai akhir hayatnya.
Kota ini sudah dikenal sejak masa hidupnya Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada tahun ke-8 Hijriyah. Di mana saat itu datanglah rombongan suku Asy`ariah (di antaranya adalah Abu Musa Al Asy`ari) yang berasal dari Zabid ke Madinah Al Munawwaroh untuk memeluk agama Islam dan mempelajari ajaran-ajarannya. Karena begitu senangnya atas kedatangan mereka, Nabi Muhammad SAW. berdoa memohon semoga Allah SWT. memberkahi kota Zabid dan Nabi mengulangi doanya sampai tiga kali (HR. Al Baihaqi). Dan berkat barokah doa Nabi, hingga saat ini, nuansa tradisi keilmuan di Zabid masih bisa dirasakan. Hal ini karena generasi ulama di kota ini sangat gigih menjaga tradisi khazanah keilmuan Islam.
Di Zabid terdapat masjid Asya`ir yang dibangun sejak tahun ke-8 Hijriyah, masjid yang dibangun oleh Abu Musa Al Asy`ari ini merupakan salah satu dari ketiga masjid yang dibangun oleh sahabat Nabi di Negeri Saba' (Yaman).

Masa Kecil Ibn Diba`
Pengarang Maulid Diba`i ini lahir ketika ayahnya sedang bepergian, dan sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang bernama Syeikh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama besar yang tersohor di kota Zabid saat itu. Meskipun demikian, ketiadaan sosok ayah tidak menjadi penghalang bagi Ibn Diba` untuk menuntut ilmu pada ulama-ulama besar Zabid.
Semenjak kecil, Ibn Diba` sudah sangat giat dalam menimba ilmu kepada para ulama. Beliau belajar membaca Al Quran dibawah bimbingan Syeikh Nuruddin Ali bin Abu Bakar lalu berpindah kepada mufti Zabid Syeikh Jamaluddin Muhammad Atthoyyib yang masih terhitung pamannya sendiri. Setelah gurunya melihat bakat kecerdasan istimewa yang dimiliki Ibn Diba`, maka sang Mufti menyuruhnya untuk membaca Al Quran dari awal hingga akhir. Berkat kecerdasan dan ketekunan, beliau sudah bisa menghafal Al Quran saat masih berusia sepuluh tahun.
Tak lama setelah beliau berhasil menghatamkan Al Quran, Ibn Diba' mendengar berita duka bahwa ayahnya telah meninggal dunia di salah satu daerah di daratan India. Beliau mendapatkan harta warisan sebanyak 8 Dinar. Meninggalnya ayah beliau tak memadamkan motivasi Ibn Diba` dalam menuntut ilmu, malah sebaliknya beliau makin semangat. Setelah peristiwa itu, beliau memutuskan untuk belajar ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait) Syatibiyah dan juga mempelajari ilmu Bahasa (gramatika), Matematika, Faroidl, Fikih, dengan masih di bawah bimbingan pamannya. Atas arahan pamannya, beliau disuruh untuk mengaji kitab Zubad (nadlom Fiqh madzhab Syafi`i) kepada Syeikh Umar bin Muhammad Al Fata Al Asy`ari.

Ibn Diba' Menimba llmu
Kemudian setelah menghatamkan kitab Zubad, dengan bermodal uang harta warisan yang didapat dari ayahnya, Ibn Diba` menempuh perjalanan jauh menuju tanah Haram Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, beliau disambut dengan berita duka bahwa kakeknya meninggal dunia. Sepeninggal kakeknya, Ibn Diba` tinggal bersama pamannya sambil tetap mengkaji beberapa ilmu di bawah bimbingan pamannya.
Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah lagi untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Sepulang dari Makkah, Ibn Diba` kembali lagi ke Zabid. Beliau mengkaji ilmu Hadis dengan membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al Muwattho` di bawah bimbingan Syeikh Zainuddin Ahmad bin Ahmad Asy Syarjiy. Di tengah-tengah sibuknya belajar Hadis, Ibn Diba' menyempatkan diri untuk mengarang kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat Muslim agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Tak puas dengan hanya belajar Hadis, Ibn Diba` lalu belajar Fikih dengan membaca kitab Minhajuttholibin dan Haawi Shoghir kepada Syeikh Jamaluddin bin Ahmad bin Jaghman dan membaca kitab-kitab hadis kepada Syeikh Burhanuddin bin Jaghman.
Pada tahun 896 H. beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Beliau berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. di Madinah. Setelah itu kembali lagi ke Makkah untuk menuntut ilmu Hadis kepada para ulama tanah Haram, di antara gurunya Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman Assyakhowi, seorang ulama Hadis yang tersohor kala itu.
Sepulang dari Makkah beliau mengarang kitab Kasyfu Al Kirbah dan Bughyat Al Mustafid. Karena kehebatan karangannya, beliau mendapat pujian dari Sultan Dzofir `Amir bin Abdul Wahab, dan memintanya untuk hadir ke istananya. Sulthan Dzofir lalu memberikan usulan untuk menambal kekurangan-kekurangan yang ada di kitabnya. Sebelum pulang ke Zabid beliau diberi hadiah sebuah rumah dan sepetak kebun kurma di kota Zabid. Dan Sultan tadi memintanya untuk mengajar ilmu Hadis di masjid Jami` Zabid.

Kebiasaan dan Karya-karya Ibn Diba'
Beliau adalah salah seorang ulama ahli Hadis yang terkemuka pada abad ke-9 H. kehebatannya dalam bidang Hadis telah diakui oleh para ulama, sehingga banyak yang datang kepadanya untuk meminta sanad Hadis dan mendalami ilmu Hadis. Meskipun demikian, Hal itu tak membuatnya berbesar hati, tapi sebaliknya dia makin tawaddlu` (rendah hati).
Ibn Diba' mempunyai kebiasaan untuk membaca surat Al Fatihah dan menganjurkan kepada murid-murid dan orang sekitarnya untuk sering membaca surat Al Fatihah. Sehingga setiap orang yang datang menemui beliau harus membaca Fatihah sebelum mereka pulang. Hal ini tidak lain karena beliau pernah mendengar salah seorang gurunya pernah bermimpi, bahwa hari kiamat telah datang lalu dia mendengar suara, “ Wahai orang Yaman masuklah ke surga Allah.” Lalu orang-orang bertanya, “Kenapa orang-orang Yaman bisa masuk surga ?” Kemudian dijawab, "karena mereka sering membaca surat Al Fatihah".
Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik di bidang Hadis ataupun Sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan (madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid Diba`i, Meskipun ada yang menisbatkan Maulid ini kepada Ibn Jauzi, hanya saja pendapat ini sangat lemah.
Di antara buah karyanya yang lain: Qurrotul `Uyun yang membahas tentang seputar Yaman, kitab Mi`roj, Taisiirul Usul, Bughyatul Mustafid dan beberapa bait syair. Beliau mengabdikan dirinya hinga akhir hayatnya sebagai pengajar dan pengarang kitab. Ibn Diba'i wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat, tanggal 26 Rajab, 944 H.

Sayyidah Khadijah Al Kubro a.s.

Sayyidah Khadijah adalah putri Khuwailid bin As’ad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Siti Khadijah dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat, pada tahun 68 sebelum hijrah. Khadijah tumbuh dalam lingkungan yang keluarga yang mulia, sehingga akhirnya setelah dewasa ia menjadi wanita yang cerdas, teguh, dan berperangai luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya yang menaruh simpati padanya. Syaikh Muhammad Husain Salamah menjelaskan bahwa Sayyidah Khadijah, nasab dari jalur ayahnya bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya yang bernama Qushay. Dia menempati urutan kakek keempat bagi dirinya.

Pada tahun 575 Masehi, Sayyidah Khadijah ditinggalkan ibunya. Sepuluh tahun kemudian ayahnya, Khuwailid, menyusul. Sepeninggal kedua orang tuanya, Khadijah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaannya. Kekayaan warisan menyimpan bahaya. Ia bisa menjadikan seseorang lebih senang tinggal di rumah dan hidup berfoya-foya. Bahaya ini sangat disadari Khadijah. Ia pun memutuskan untuk tidak menjadikan dirinya pengangguran. Kecerdasan dan kekuatan sikap yang dimiliki Khadijah mampu mengatasi godaan harta. Karenanya, Khadijah mengambil alih bisnis keluarga.

Pada mulanya, Sayyidah Khadijah menikah dengan Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi. Pernikahan itu membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Tak lama kemudian suamianya meninggal dunia, dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Lalu Siti Khadijah menikah lagi untuk yang kedua dengan Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi. Setelah pernikahan itu berjalan beberapa waktu, akhirnya suami keduanya pun meninggal dunia, yang juga meninggalkan harta dan perniagaan.

Dengan demikian, saat itu Siti Khadijah menjadi wanita terkaya di kalangan bangsa Quraisy. Karenanya, banyak pemuka dan bangsawan bangsa Quraisy yang melamarnya, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai istri. Namun, Siti Khadijah menolak lamaran mereka dengan alas an bahwa perhatian Khadijah saat itu sedang tertuju hanya untuk mendidik anak-anaknya. Juga dimungkinkan karena, Sayyidah Khadijah merupakan saudagar kaya raya dan disegani sehingga ia sangat sibuk mengurus perniagaan.

Sayyidah Khadijah mempunyai saudara sepupu yang bernama Waraqah bin Naufal. Beliau termasuk salah satu dari hanif di Mekkah. Ia adalah sanak keluarga Sayyidah Khadijah yang tertua. Ia mengutuk bangsa Arab yang menyembah patung dan melakukan penyimpangan dari kepercayaan nenek moyang mereka (Nabi Ibrahim dan Ismail).

Para sejawatnya mengakui keberhasilan Sayyidah Khadijah, ketika itu mereka memanggilnya “Ratu Quraisy” dan “Ratu Mekkah”. Ia juga disebut sebagai at-Thahirah, yaitu “yang bersih dan suci”. Nama at-Thahirah itu diberikan oleh sesama bangsa Arab yang juga terkenal dengan kesombongan, keangkuhan, dan kebanggaannya sebagai laki-laki. Karenanya perilaku Khadijah benar-benar patut diteladani hingga ia menjadi terkenal di kalangan mereka.

Pertama kali dalam sejarah bangsa Arab, seorang wanita diberi panggilan Ratu Mekkah dan juga dijuluki at-Thahirah. Orang-orang memanggil Khadijah dengan Ratu Mekkah karena kekayaannya dan menyebut Khadijah dengan at-Thahirah karena reputasinya yang tanpa cacat.

Suatu ketika, Sayyidina Muhammad SAW bekerja mengelola barang dagangan milik Sayyidah Khadijah untuk dijual ke Syam bersama Sayyidah Maisyarah. Setibanya dari berdagang Sayyidah Maysarah menceritakan mengenai perjalanannya, mengenai keuntungan-keuntungannya, dan juga mengenai watak dan kepribadian Muhammad. Setelah mendengar dan melihat perangai manis, pekerti yang luhur, kejujuran, dan kemampuan yang dimiliki Sayyidina Muhammad SAW, kian hari Khadijah semakin mengagumi sosok Sayyidina Muhammad SAW. Selain kekaguman, muncul juga perasaan-perasaan cinta Sayyidah Khadijah kepada Sayyidina Muhammad SAW.

Tibalah hari suci itu. Maka dengan maskawin 20 ekor unta muda, Sayyidina Muhammad SAW menikah dengan Sayyidah Khadijah pada tahun 595 Masehi. Pernikahan itu berlangsung diwakili oleh paman Sayyidah Khadijah, ‘Amr bin Asad. Sedangkan dari pihak keluarga Sayyidina Muhammad SAW diwakili oleh Sayyidina Abu Thalib dan Sayyidina Hamzah. Ketika Menikah, Sayyidina Muhammad SAW berusia 25 tahun, sedangkan Sayyidah Khadijah berusia 40 tahun. Bagi keduanya, perbedaan usia yang terpaut cukup jauh dan harta kekayaan yang tidak sepadan di antara mereka, tidaklah menjadi masalah, karena mereka menikah dilandasi oleh cinta yang tulus, serta pengabdian kepada Allah. Dan, melalui pernikahan itu pula Allah telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.

Dari pernikahan itu, Allah menganugerahi mereka dengan beberapa orang anak, maka dari rahim Sayyidah Khadijah lahirlah enam orang anak keturunan Sayyidina Muhammad SAW. Anak-anak itu terdiri dari dua orang laki-laki dan empat orang perempuan. Anak laki-laki mereka, al-Qasim dan dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib meninggal saat bayi. Kemudian, empat anak perempuannya adalah Sayyidah Zainab, Sayyidah Ruqayyah,
Sayyidah Ummi Kulsum, dan Sayyidah Fatimah Az-Zahra. Sayyidah Khadijah mengasuh dan membimbing anak-anaknya dengan bijaksana, lembut, dan penuh kasih sayang, sehingga mereka pun setia dan hormat sekali kepada ibunya.

Setelah berakhirnya pemboikotan kaum Quraisy terhadap kaum muslim, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan. Semakin hari kondisi kesehatan badannya semakin memburuk. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia 60 tahun, wafatlah seorang mujahidah suci yang sabar dan teguh imannya, Sayyidah Sayyidah Khadijah Al Kubra binti Khuwailid.

Sayyidah Khadijah wafat dalam usia 65 tahun pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-10 kenabian, atau tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah atau 619 Masehi. Ketia itu, usia Rasulullah sekitar 50 tahun. Beliau dimakamkan di dataran tinggi Mekkah, yang dikenal dengan sebutan Al Hajun.

Karena itu, peristiwa wafatnya Sayyidah Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah SAW. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah SAW ketika itu. Karena dua orang yang dicintainya (Sayyidah Khadijah dan Sayyidina Abu Thalib) telah wafat, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.

Sayyidah Aisyah Al Ridho a.s.

Sayyidah Aisyah a.s. memiliki gelar ash-Shiddiqah, sering dipanggil dengan Ummu Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah. Kadang-kadang ia juga dijuluki Humaira’. Namun Rasulullah sering memanggilnya Binti ash-Shiddiq. Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki dengan Abu Bakar. Ia terkenal dengan gelar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Ruman. Ia berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi di pihak ayahnya dan dari kabilah Kinanah di pihak ibu.

Sementara itu, garis keturunan Sayyidah Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.

Sayyidah Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan dengan bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu, tidak ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq RA dalam hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam. Rumah Sayyidina Abu Bakar RA saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam pertama terpancar dengan terang.

Dari perkembangan fisik, Sayyidah Aisyah termasuk perempuan yang sangat cepat tumbuh dan berkembang. Ketika menginjak usia sembilan atau sepuluh tahun, ia menjadi gemuk dan penampilannya kelihatan bagus, padahal saat masih kecil, ia sangat kurus. Dan ketika dewasa, tubuhnya semakin besar dan penuh berisi. Sayyidah Aisyah adalah wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik. Oleh karena itu, ia dikenal dengan julukan Humaira’ (yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang manis, tubuhnya langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya cerah.

Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Sayyidah Aisyah masih kecil pada perilaku dan gerak-geriknya. Namun, seorang anak kecil tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil, Aisyah tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah SAW di setiap kesempatan.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Sayyidah Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah, setelah wafatnya Sayyidah Khadijah. Setelah dua tahun wafatnya Khadijah, turunlah wahyu kepada kepada Rasulullah SAW untuk menikahi Sayyidah Aisyah, kemudian Rasulullah SAW segera mendatangi Sayyidina Abu Bakar dan istrinya, mendengar kabar itu, mereka sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka. Maka dengan segera disuruhlah Sayyidah Aisyah menemui beliau.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Sayyidah Aisyah terjadi di Mekkah sebelum hjirah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika dinikahi Rasulullah SAW, Sayyidah Aisyah masih sangat belia. Di antara istri-istri yang beliau nikahi, hanyalah Aisyah yang masih dalam keadaan perawan. Sayyidah Aisyah menikah pada usia 6 tahun. Tujuan inti dari pernikahan dini ini adalah untuk memperkuat hubungan dan mempererat ikatan kekhalifahan dan kenabian. Pada waktu itu, cuaca panas yang biasa dialami bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan kemampuan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk tumbuh dan berkembang secara dini.

Pada waktu itu, karena Ssayyidah Aisyah masih gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan Sayyidah Aisyah. Bahkan beliau membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya. Kemudian, ketika Sayyidah Aisyah berusaha 9 tahun, Rasulullah SAW menyempurnakan pernikahannya dengan Sayyidah Aisyah. Dalam pernikahan itu, Rasulullah SAW memberikan maskawin 500 dirham. Setelah pernikahan itu, Sayyidah Aisyah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah SAW.

Pernikahan seorang tokoh perempuan dunia tersebut dilangsungkan secara sederhana dan jauh dari hura-hura. Hal ini mengandung teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi seluruh muslimah. Di dalamnya terkandung hikmah dan nasehat bagi mereka yang menganggap penikahan sebagai problem dewasa ini, yang hanya menjadi simbol kemubaziran dan hura-hura untuk menuruti hawa nafsu dan kehendak yang berlebihan.

Dalam hidupnya yang penuh jihad, Sayyidah Aisyah wafat dikarenakan sakit pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 Hijriah. Ia dimakamkan di Baqi’. Sayyidah Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam Selasa tanggal 17 Ramadhan) setelah shalat witir. Ketika itu, Sayyidina Abu Hurairah RA datang lalu menshalati jenazah Sayyidah Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para penduduk yang tinggal di kawasan-kawasan atas pun turun dan datang melayat. Tidak ada seorang pun yang ketika itu meninggal dunia dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat wafatnya Sayyidah Aisyah.

Sayyidah Fathimah Az-Zahra a.s.

Sayyidah Fathimah Az-Zahra` a.s. adalah putri keempat pasangan Rasulullah SAW dan Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Julukannya antara lain az-zahra`, ash-shiddiiqah, ath-thaahirah, al-mubaarakah, az-zakiah, ar-radhiah, al-mardhiah, al-muhaddatsah dan al-batuul. Mayoritas sejarawan Ahlussunnah menetapkan bahwa ia lahir di Makkah pada tanggal 20 Jumadits Tsani 5 H.. Akan tetapi, sebagian yang lain menyatakan bahwa hal itu jatuh pada tahun 3 H, dan kelompok ketiga menetapkannya pada tahun 2 H. Salah seorang sejarawan dan ahli hadis dari kalangan Ahlussunnah menyatakan bahwa kelahirannya jatuh pada tahun 1 H.

Jelas bahwa usaha memperjelas hari kelahiran tokoh-tokoh besar sejarah meskipun dari sudut pandang historis dan riset ilmiah memiliki nilai yang besar, akan tetapi, dari sisi mengenal peran mereka dalam sejarah, hal itu tidak begitu urgen. Yang penting adalah mengetahui peran mereka dalam membentuk masa depan manusia dan sejarah.

Sayyidah Fathimah a.s. dididik di rumah ayahnya, sebuah rumah kenabian dan tempat turunnya wahyu. Rumah tempat kelahiran kelompok pertama yang beriman kepada keesaan Allah dan dengan tegar memegang iman mereka. Rumah itu adalah satu-satunya rumah dari sekian banyak rumah di jazirah Arab yang dari dalamnya berkumandang suara ‘Allahu Akbar’, dan Sayyidah Fathimah a.s. adalah satu-satunya anak wanita yang mengalami kehangatan semacam itu. Ia berada di rumah itu sendirian dan masa kecilnya ia lalui dengan segala kesendirian. Dua saudarinya, Sayyidah Ruqayah dan Sayyidah Ummi Kultsum lebih besar beberapa tahun dari dirinya. Mungkin salah satu rahasia kesendiriannya adalah supaya ia dapat memfokuskan diri terhadap penggemblengan raga dan jiwa.

Setelah menikah dengan Amirul Mukminin Ali a.s. , ia dikenal sebagai seorang wanita figur di sepanjang sejarah. Dalam kehidupan berumah tangga ia adalah seorang wanita figur, dan dalam beribadah kepada Allah ia juga dikenal sebagai wanita teladan. Setelah selasai dari semua kewajiban sebagai ibu rumah tangga, ia dengan penuh khusyu’ dan rendah hati beribadah kepada Allah serta berdoa untuk kepentingan orang lain.

Imam Shadiq a.s. meriwayatkan dari kakek-kakeknya bahwa Imam Hasan bin Ali a.s. berkata: “Di setiap malam Jumat, ibuku beribadah hingga fajar menyingsing. Ketika ia mengangkat tangannya untuk berdoa, ia selalu berdoa untuk kepentingan orang, dan ia tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri. Suatu hari aku bertanya kepadanya: “Ibu, mengapa Anda tidak pernah berdoa untuk diri Anda sendiri sebagaimana Anda mendoakan orang lain?” “Tetangga harus didahulukan, wahai putraku”, jawabnya singkat”.


Sebelum Rasulullah SAW meninggal dunia, segala kesulitan hidup yang dialaminya sirna dengan melihat wajah berseri sang ayah. Bertemu dengan sang ayah dapat membasmi semua kepenatan dan menganugerahkan ketenteraman dan kekuatan baru. Akan tetapi, meninggalnya sang ayah, terzaliminya sang suami, hilangnya kebenaran dan lebih penting dari semua itu, penyelewengan-penyelewengan yang terjadi setelah meninggalnya Rasulullah SAW dalam waktu yang sangat singkat, sangat menyakiti jiwa dan kemudian raga Sayyidah Fathimah a.s. Berdasarkan pembuktian sejarah, sebelum sang ayah meninggal dunia, ia tidak pernah memiliki penyakit raga.

Anda pasti telah mendengar cerita mereka yang datang ke rumah Sayyidah Fathimah a.s. dan ingin membakar rumah dan seluruh isinya. Peristiwa ini dengan sendirinya sudah cukup sebagai peristiwa yang sangat menyakitkannya. Apalagi jika ditambah dengan peristiwa-peristiwa lain.

Putri Rasulullah SAW terbaring di atas ranjang merintih kesakitan. Para wanita Muhajir dan Anshar mengelilinginya. Ia masih sempat melontarkan ceramah di hadapan mereka. Dan dengan menukil sebagian kecil dari ceramah tersebut, Anda akan memahami betapa ia mengeluh terhadap keadaan masyarakat kala itu yang memancing di air keruh untuk merampas wilayah dari pemiliknya yang sah.

“Demi Allah, jika mereka menyerahkan kepada Ali segala tugas yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW, ia akan membawa mereka menuju ke jalan yang lurus dan memberikan hak setiap orang kepadanya. Oh, kenapa masa ini dipenuhi oleh hal-hal yang aneh dan permainan datang silih berganti.

Mengapa kaum kalian berbuat demikian? Apa alasan mereka? Mereka adalah para pencinta yang bohong. Akhirnya mereka akan merasakan balasannya.
Mereka telah meninggalkan kepala dan memegang erat ekor. Mereka mencari (baca : mengikuti) orang-orang awam dan enggan bertanya kepada orang-orang alim. Laknat atas orang-orang bodoh dan lalim yang menganggap kelalimannya sebagai sebuah kebajikan”.
Pada akhirnya putri Rasulullah SAW itu mengucapkan selamat tinggal kepada dunia ini dan berjumpa dengan Tuhannya. Imam Ali a.s. menguburkan jasadnya pada malam hari sehingga tidak ada kesempatan bagi Sayyidina Abu Bakar untuk menghadiri penguburannya. Ia meninggal dunia sebagai syahid yang terzalimi.
Berkenaan dengan tanggal syahadahnya, para ahli hadis juga berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur adalah 13 Jumadil Ula 11 H., dan pendapat lain menyatakannya jatuh pada tanggal 3 Jumadits Tsani 11 H.

Sebuah Kalung yang Penuh Berkah
Suatu hari Rasulullah SAW duduk di masjid dan dikelilingi oleh para sahabat. Tidak lama kemudian seorang tua bangka dengan pakaian compang-camping datang menghampiri mereka. Usia tua dan kelemahan badannya telah merenggut segala kekuatan yang dimilikinya. Rasulullah SAW menghampirinya seraya bertanya tentang keadaannya. Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang papa dan lapar, berikanlah aku makanan. Aku telanjang, berikanlah kepadaku pakaian. Aku hidup menderita, tolonglah aku”. Rasulullah SAW menjawab: “Aku sekarang tidak memiliki sesuatu (yang dapat kuberikan kepadamu). Akan tetapi, orang yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, sebenarnya ia juga memiliki saham dalam kebaikan tersebut”.

Setelah berkata demikian, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk pergi ke rumah Sayyidah Fathimah a.s. Ia pergi ke rumahnya dan sesampainya di sana ia menceritakan segala penderitaannya. Ia menjawab: “Aku pun sekarang tidak memiliki sesuatu (yang dapat kuberikan kepadamu)”. Setelah berkata demikian, ia melepas kalung yang dihadiahkan oleh putri Hamzah bin Abdul Muthalib kepadanya dan memberikannya kepada pria tua itu seraya berkata: “Juallah kalung ini, insya-Allah engkau akan dapat memenuhi kebutuhanmu”.

Setelah mengambil kalung tersebut pria tua itu pergi ke masjid. Rasulullah SAW masih duduk bersama para sahabat kala itu. Pria tua itu berkata: “Wahai Rasulullah, Fathimah memberikan kalung ini kepadaku untuk dijual demi memenuhi segala kebutuhanku”. Rasulullah terisak menangis. Amar Yasir berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Anda mengizinkan kalung ini kubeli?” “Siapa yang membelinya, semoga Allah tidak mengazabnya”, jawab Rasulullah SAWW singkat.

Amar Yasir bertanya kepada pria tua itu: “Berapa kamu mau menjualnya?” “Aku akan menjualnya seharga roti dan daging yang dapat mengenyangkanku, pakaian yang dapat menutupi badanku dan 10 Dinar sebagai bekalku pulang menuju rumahku”, jawabnya pendek.

Amar Yasir berkata: “Kubeli kalung ini dengan harga 20 Dinar emas, makanan, pakaian dan kuda (sebagai tungganganmu pulang)”. Ia membawa pria tua itu ke rumahnya, lalu diberinya makan, pakaian, kuda dan 20 Dinar emas yang telah disepakatinya. Setelah mengharumkan kalung tersebut dengan minyak wangi dan membungkusnya dengan kain, ia berkata kepada budaknya: “Berikanlah bungkusan ini kepada Rasulullah, dan aku juga menghadiahkanmu kepada beliau”.

Rasulullah SAW akhirnya menghadiahkan kalung dan budak tersebut kepada Sayyidah Fathimah a.s. kemudian Sayyidah Fathimah a.s. mengambil kalung tersebut dan berkata kepada budak itu: “Aku bebaskan engkau di jalan Allah”. Budak itu tersenyum. Sayyidah Fathimah a.s. menanyakan mengapa ia tersenyum. Ia menjawab: “Wahai putri Rasulullah, kalung ini yang membuatku tersenyum. Ia telah mengenyangkan orang yang kelaparan, memberikan pakaian kepada orang-orang yang tak berpakaian, menjadikan orang fakir kaya, memberikan tunggangan kepada orang yang tidak punya tunggangan, membebaskan budak dan akhirnya ia kembali pemilik aslinya”.

Peranan Sayyidah Fathimah a.s. dalam Peperangan-peperangan di Awal Munculnya Islam
Selama sepuluh tahun Rasulullah SAWW memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Kadang-kadang karena jarak yang amat panjang antara Madinah dan medan perang, mereka harus meninggalkan kota pusat Islam selama kurang lebih dua atau tiga bulan. Selama hidup berumah tangga dengan Sayyidah Fathimah Az-Zahra` a.s., Imam Ali a.s. banyak melalui waktu-waktunya di medan jihad atau di medan tabligh. Selama suaminya tercinta tidak berada di rumah, Sayyidah Fathimah a.s. mengambil alih tugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak mereka. Dan tugas ini dilaksanakannya dengan baik sehingga suaminya sebagai seorang prajurit Islam dapat menjalankan tugasnya dengan sempurna.

Selama masa-masa genting itu, Sayyidah Fathimah a.s. selalu membantu para keluarga prajurit dan syuhada Islam dan turut menghibur mereka. Dan kadang-kadang ia juga mengobati luka-luka yang dialami oleh keluarganya.

Pada peristiwa perang Uhud, Sayyidah Fathimah a.s. turut menghadiri peperangan tersebut bersama wanita-wanita yang lain. Di perang ini, Rasulullah SAW luka parah dan Imam Ali a.s. juga mengalami luka yang tidak kalah parahnya. Fathimah a.s. mencuci darah dari wajah sang ayah dan Imam Ali a.s. yang menuangkan air dengan perisainya. Ketika melihat darah di wajahnya tidak kunjung berhenti mengalir, Sayyidah Fathimah a.s. mengambil setangkai pelepah kurma lalu dibakarnya. Setelah menjadi abu, ia melumurkan abu tersebut di atas luka sang ayah supaya darahnya berhenti mengalir. Rasulullah SAW dan Imam Ali a.s. menyerahkan pedang mereka kepada Sayyidah Fathimah a.s. untuk dicuci.

Di perang ini Sayyidina Hamzah meneguk cawan syahadah. Setelah perang usai, Shafiah, saudari Sayyidina Hamzah bersama Sayyidah Fathimah a.s. duduk bersimpuh di sisi jenazah Sayyidina Hamzah yang sudah terkoyak-koyak sambil menangis. Rasulullah SAW juga turut serta menangis seraya berkata kepada Sayyidina Hamzah: “Tidak ada musibah yang pernah kami alami seperti musibah yang telah menimpamu”. Setelah itu ia berkata kepada mereka berdua: “Kabar gembira buat kalian. Baru saja malaikat Jibril membawa berita bahwa di tujuh langit Hamzah sudah dikenal sebagai singa Allah dan Rasul-Nya”.

Setelah perang Uhud usai, selama Sayyidah Fathimah a.s. hidup ia selalu pergi berziarah ke kuburan syuhada Uhud setiap hari sebanyak dua atau tiga kali.

Di perang Khandaq, Sayyidina Fathimah a.s. mengantarkan sepotong roti kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bertanya: “Apa ini?” “Aku memasak roti. Hatiku tidak tenang sebelum mengantarkan roti ini kepadamu”, jawabnya. “Ini adalah makanan pertama yang kusantap setelah tiga hari kelaparan”, kata Rasulullah SAW.

Di perang Mu`tah, Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib meneguk cawan syahadah. Rasulullah SAW pergi ke rumahnya untuk menjenguk keluarganya. Setelah itu, ia pergi ke rumah Sayyidina Fathimah a.s. Ia menangis terisak. Rasulullah SAW bersabda: “Menangislah untuk orang-orang seperti Sayyidina Ja’far. Sediakanlah makanan untuk keluarganya. Karena mereka pada hari-hari ini telah lupa kepada diri mereka sendiri”.

Pada peristiwa pembebasan kota Makkah, Sayyidah Fathimah a.s. juga ikut hadir secara aktif. Ummi Hani`, saudari Imam Ali a.s. bercerita: Pada peristiwa pembebasan kota Makkah, aku melindungi dua orang dari kerabat suamiku yang masih musyrik di rumahku. Dan hingga kini mereka masih berada di rumahku. Tiba-tiba dengan menunggangi kuda dan berpakaian besi lengkap, Ali a.s. tiba di rumahku dan menghampiri mereka. Aku memisah dan berdiri di tengah-tengah mereka seraya berkata: “Jika engkau ingin membunuh mereka, engkau harus membunuhku terlebih dahulu”. Ali a.s. keluar dari rumhku. Hampir saja ia membunuh kedua orang tersebut. Aku pergi menemui Rasulullah SAW di kemahnya yang berada di Bathha`. Tapi aku tidak menjumpainya. Akhirnya aku melihat Sayyidah Fathimah a.s. dan kuceritakan semua yang sudah terjadi. Ternyata ia lebih tegas dari suaminya. Ia berkata kepadaku dengan penuh keheranan: “Apakah engkau masih melindungi musyrikin?” Pada saat itu Rasulullah SAW tiba dan aku memintakan suaka politik darinya untuk mereka. Ia menyetujuinya. Setelah itu ia menyuruh Sayyidah Fathimah a.s. untuk menyediakan air dan kemudian ia mandi. Di bulan Ramadhan 10 H., Imam Ali a.s. mendapat perintah dari Rasulullah SAW untuk bertabligh ke Yaman dengan membawa pasukan yang berjumlah tiga ratus penunggang kuda. Instruksi tersebut dapat ia laksanakan dengan baik dan banyak sekali penduduk Yaman yang memeluk agama Islam. Ia menyampaikan segala kegiatannya di Yaman melalui surat. Pada sebuah kesempatan Rasulullah SAW menjawab bahwa untuk melaksanakan ibadah haji ia harus secepatnya sampai di Makkah. Dan pembawa surat Rasulullah SAW itu kembali bersama Imam Ali a.s.

Di bulan Dzul Qa’dah tahun itu juga Rasulullah SAW mengumumkan kepada penduduk Madinah dan kabilah-kabilah yang berdekatan bahwa ia ingin melaksanakan haji. Dengan demikian mereka telah mempersiapkan diri untuk melakukan kewajiban agung tersebut.

Rasulullah SAW berangkat dari Madinah pada tanggal 25 Dzul Qa’dah 10 H. dan memulai ihram dari Dzul Hulaifah. Semua istrinya pada kesempatan ini ikut serta bersamanya. Sayyidah Fathimah a.s. juga tidak mau ketinggalan. Setelah tiga bulan melaksanakan tugas, Imam Ali a.s. berhasil sampai di Makkah untuk melaksanakan haji dan melihat istrinya tercinta saat itu juga. Setelah melaksanakan kewajiban haji yang dikenal dengan haji wada’, di tengah perjalanan pulang ke Madinah tepatnya di daerah yang bernama Ghadir Khum Rasulullah SAW memproklamasikan keimamahan Imam Ali a.s. atas dasar perintah Allah. Dengan kehadiran Sayyidah Fathimah a.s. di haji wada’, dapat disimpulkan bahwa ia juga menghadiri pelantikan Ghadir Khum.

Sayyidah Fathimah Az-Zahra` a.s. di masa-masa terakhir Kehidupan Rasulullah SAW
Di akhir-akhir umurnya penyakit Rasulullah SAW bertambah parah. Di sisi sang ayah, Sayyidah Fathimah a.s. menatap wajah ayahnya yang bercahaya dan mengalirkan keringat dingin. Sambil menangis ia menatap ayahnya. Sang ayah tidak tega melihat putrinya menangis dan gelisah. Akhirnya sang ayah membisikkan sebuah ucapan di telinganya sehingga ia tenang dan tersenyum. Senyumnya pada masa-masa krisis seperti itu terlihat sangat aneh. Mereka bertanya kepadanya: “Rahasia apakah yang telah ia ucapkan?” Ia hanya menjawab: “Selama ayahku hidup aku akan bungkam seribu bahasa”. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, ia membongkar rahasia itu. Sayyidah Fathimah a.s. berkata: “Ayahku mengatakan kepadaku bahwa engkau adalah orang pertama dari Ahlul Baitku yang akan menyusulku. Oleh karena itu, aku bahagia”.

Kedudukan Ahlul Bait a.s. di sisi Allah
“Panjatkanlah puja kepada Dzat yang karena keagungan dan cahaya-Nya seluruh penduduk langit dan bumi mencari perantara untuk menuju kepada-Nya. Kami adalah perantara-Nya di antara makhluk-Nya, kami adalah orang-orang keistimewaan-Nya dan tempat menyimpan kesucian-Nya, kami adalah hujjah-Nya berkenaan dengan rahasia ghaib-Nya, dan kami adalah pewaris para nabi-Nya”.

Segala yang memabukkan adalah haram
Rasulullah SAWW pernah bersabda kepadaku: “Wahai kekasih ayahnya, segala yang memabukkan adalah haram, dan segala yang memabukkan adalah khamar”.

Wanita terbaik
“Yang baik bagi wanita, hendaknya ia tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihatnya”.

Hasil ibadah yang disertai ikhlas
“Orang yang menghadiahkan kepada Allah ibadahnya yang murni, maka Ia akan menurunkan kepadanya kemaslahatannya yang terbaik”.

Umat yang paling buruk
Sayyidah Fathimah a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Umatku yang terburuk adalah mereka yang berlimpahan nikmat, makan makanan yang berwarna-warni, memakai pakaian yang beraneka ragam dan mengucapkan segala yang diinginkan”.

Muslim pertama dan yang paling alim
Fathimah a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Suamimu adalah orang yang paling alim, orang yang pertama masuk Islam dan orang yang paling penyabar”.

Menolong keturunan Rasulullah SAWW
Fathimah a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Jika seseorang pernah menolong seorang dari keturunanku dan ia belum membalasnya, maka aku yang akan membalasnya”.

Sayyidah Fathimah a.s. berkata: Rasulullah pernah berpesan kepadaku: “Jauhilah sifat kikir, karena kikir adalah sebuah penyakit yang tidak akan menjangkiti orang dermawan. Jauhilah sifat kikir, karena sifat kikir adalah sebuah pohon di neraka yang ranting-rantingnya menjulur ke dunia. Barang siapa yang berpegang teguh kepada sebatang rantingnya (di dunia), maka tangkai tersebut akan menyeretnya ke dalam neraka”.

Senyum yang penuh rahasia
Sayyidah Aisyah bercerita: Ketika Rasulullah SAW sedang sakit parah, ia memanggil putrinya seraya membisikkan sesuatu di telinganya. Fathimah a.s. menangis. Kemudian ia membisikkan sesuatu untuk kedua kalinya. Fathimah a.s. tersenyum. Setelah itu aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Ia menjawab: “Tangisku karena Rasulullah SAW memberitahu kepadaku bahwa ia akan segara meninggal dunia, dan senyumku karena ia memberitahu kepadaku bahwa aku adalah orang pertama yang akan menyusulnya”.

Rasulullah SAW adalah ayah bagi keturunan Sayyidah Fathimah a.s.
Fathimah a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan setiap keturunan yang berasal dari seorang ibu sebagai keluarga yang berhubungan nasab langsung dengannya kecuali keturunan Fathimah. Karena aku adalah wali mereka (dan nasab mereka menyambung kepadaku)”.

Rasulullah SAW dan Ahlul Bait a.s.
Fathimah a.s. bercerita: Suatu hari aku bertamu ke rumah Rasulullah SAWW. Ia membentangkan sehelai kain seraya berkata kepadaku: “Duduklah di atasnya”. Tak lama kemudian Hasan masuk. Rasulullah SAWW berkata kepadanya: “Duduklah bersama ibumu”. Selang beberapa waktu Husein masuk. Ia berkata kepadanya: “Duduklah bersama mereka berdua”. Kemudian Ali masuk. Ia berkata kepadanya: “Duduklah bersama mereka”. Setelah itu Rasulullah SAWW melipat kain tersebut sehingga menutupi kami seraya berkata: “Mereka adalah dariku dan aku dari mereka. Ya Allah, ridhailah mereka sebagaimana aku ridha atas mereka”.