Kamis, 22 Juli 2010

Rasulullah SAW Dan Seorang Arab Badui

Di waktu Rasulullah SAW. sedang asyik bertawaf di Ka'bah, beliau mendengar seorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: 'Ya Karim! Ya Karim!' Rasulullah s.a.w menirunya membaca 'Ya Karim! Ya Karim!' Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka'bah, dan berzikir lagi: 'Ya Karim! Ya Karim!' Rasulullah SAW yang berada dibelakangnya mengikuti zikirnya 'Ya Karim! Ya Karim!' Merasa seperti di olok-olokan, orang itu menoleh kebelakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya.

Orang itu lalu berkata: 'Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokan ku, karena aku ini adalah orang Arab badui? Kalaulah bukan karena ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.' Mendengar bicara orang badui itu, Rasulullah SAWtersenyum, lalu bertanya: 'Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?''Belum,' jawab orang itu. 'Jadi bagaimana kau beriman kepadanya?' 'Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan saya membenarkan putusannya sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya,' kata orang arab badui itu pula. Rasulullah SAW pun berkata kepadanya: 'Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat!' Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya.'Tuan ini Nabi Muhammad?!''Ya,' jawab Nabi SAW Dia segera tunduk untuk mencium kedua kaki RasulullahSAW Melihat hal itu, Rasulullah SAW menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya:

'Wahai orang Arab! Janganlah berbuat serupa itu.Perbuatan serupa itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada juragannya.Ketahuilah, ALLAH mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi berita gembira bagi orang yang beriman, dan membawa berita ancaman bagi yang mengingkarinya.' Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit dia berkata: 'Ya Muhammad! Rabb As-Salam (puncak keselamatan) menyampaikan salam kepadamu dan bersabda: Katakanlah kepada orang Arab itu, agar tidak terpesona dengan belas kasih ALLAH. Ketahuilah bahwa ALLAH akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar!'. Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi. Orang Arab itu pula berkata: 'Demi keagungan serta kemulian ALLAH, jika ALLAH akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan denganNYA!' kata orang Arab badui itu. 'Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan ALLAH?'

Rasulullah bertanya kepadanya. 'Jika ALLAH akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa besar maghfirahNYA,' jawab orang itu. 'Jika DIA memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan mem perhitungkan betapa keluasan pengampunanNYA.

Jika DIA memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawananNYA!'. Mendengar ucapan orang Arab badui itu, maka Rasulullah SAW pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badui itu, air mata beliau meleleh membasahi janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril AS turun lagi seraya berkata: 'Ya Muhammad! Rabb As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda: Berhentilah engkau dari menangis! Sungguh karena tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga ia bergoncang.

Nah katakan kepada temanmu itu, bahwa ALLAH tak akan menghisab dirinya, juga tak akan memperhitungkan kemaksiatannya. ALLAH sudah mengampuni semua kesalahannya dan ia akan menjadi temanmu di surga nanti!' Betapa sukanya orang Arab badui itu, apabila mendengar berita tersebut. Ia lalu menangis karena tidak berdaya menahan keharuan dirinya.

Nama dan Gelar Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ AS

Imam Shadiq AS bersabda: “Beliau dinamakan Fathimah karena tidak ada keburukan dan kejahatan pada dirinya. Apabila tidak ada Ali AS, maka sampai hari Kiamat tidak akan ada seorangpun yang sepadan dengannya (untuk menjadi pasangannya)”.

Para Imam Ahlu-Bait AS sangat memuliakan pemilik nama Fathimah tersebut. Salah satu pengikut Imam Jakfar as-Shadiq AS telah dikaruniai seorang anak perempuan, kemudian beliau bertanya kepadanya: “Engkau telah memberikan nama apa kepadanya?”. Ia menjawab: “Fathimah”. Mendengar itu Imam AS bersabda: “Fathimah, salam sejahtera atas Fathimah. Karena engkau telah menamainya Fathimah maka hati-hatilah. Jangan sampai engkau memukulnya, mengucapkan perkataan buruk kepadanya, dan muliakanlah ia.”
Wanita mulia nan agung yang menjadi kekasih Allah dan Rasul-Nya itu bernama Fathimah. Keagungannya telah dinyatakan oleh manusia termulia dan makhluk Allah teragung, Muhammad SAW yang segala pernyataannya tidak mungkin salah. Pada kesempatan ini, kita akan melihat beberapa sebutan mulia bagi wanita agung tersebut, disamping banyak nama dan sebutan lagi yang disematkan pada pribadi kekasih Allah dan Rasul-nya itu. Di antaranya ialah;

FATHIMAH

Syaikh Shaduq dalam kitab “I’lall Asy-Syara’i” dan Allamah al-Majlisi dalam kitab “Bihar al-Anwar” telah menukil riwayat dari Imam Jakfar bin Muhammad as-Shadiq AS, bahwasanya beliau bersabda: “Sewaktu Sayidah Fathimah Zahra AS terlahir, Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk turun ke bumi dan memberitahukan nama ini kepada Rasulullah. Maka Rasulullah SAW pun memberi nama Fathimah kepadanya.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 13)

Dari segi bahasa ’fathama’ berarti “anak yang disapih dari susuan”. Dalam sebuah riwayat dari Imam Muhammad bin Ali al-Baqir AS telah dinyatakan bahwa, setelah kelahiran Fathimah Zahra AS, Allah SWT berfirman kepadanya: “Sesungguhnya aku telah menyapihmu dengan ilmu, dan menyapihmu dari kototan (Inni fathamtuki bil ilmi wa fathamtuki a’nith thomats)”. Hal ini seperti seorang bayi sewaktu disapih dari susu maka ia memerlukan makanan lain sebagai penggantinya. Dan Sayidah Fathimah Zahra AS setelah disapih, sedang makanan pertamanya berupa ilmu.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 13)

Imam Ali bin Musa ar-Ridho AS telah meriwayatkan hadis dari ayahnya, dimana ayahnya telah meriwayatkan dari para leluhurnya hingga sampai ke Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda: “Wahai Fathimah, tahukan engkau kenapa dinamakan Fathimah?”. Kemudian Imam Ali AS bertanya: “Kenapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Karena ia dan pengikutnya akan tercegah dari api neraka”. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 14). Atau dalam riwayat lain beliau bersabda: “Karena terlarang api neraka baginya dan para pecintanya”.( Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 15)

Imam Ali bin Abi Thalib AS bersabda, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “Ia dinamakan Fathimah karena Allah SWT akan menyingkirkan api neraka darinya dan dari keturunannya. Tentu keturunannya yang meninggal dalam keadaan beriman dan meyakini segala sesuatu yang diturunkan kepadaku.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 18-19)

Imam Shadiq AS bersabda: “Beliau dinamakan Fathimah karena tidak terdapat keburukan dan kejahatan pada dirinya. Apabila tidak ada Ali AS maka sampai hari Kiamat tidak akan ada seorangpun yang sepadan dengannya (untuk menjadi pasangannya)”. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 10)

Dalam beberapa sumber telah dijelaskan bahwa nama Fathimah merupakan nama yang sangat disukai oleh para Maksumin (Ahlu-Bayt) AS. Para Imam Ahlu-Bayt AS sangat memuliakan pemilik nama tersebut. Salah satu pengikut Imam Shadiq AS telah dikaruniai seorang anak perempuan, kemudian beliau bertanya kepadanya: “Engkau telah memberikan nama apa kepadanya?”. Ia menjawab: “Fathimah”. Mendengar itu Imam AS bersabda: “Fathimah, salam sejahtera atas Fathimah. Karena engkau telah menamainya Fathimah, maka hati-hatilah jangan sampai memukulnya, mengucapkan perkataan buruk kepadanya, dan muliakanlah ia.”

Salah seorang pengikut Imam Shadiq AS berkata: “Pada suatu hari dengan raut muka sedih, aku telah menghadap Imam Shadiq AS. Beliau bertanya: “Kenapa engkau bersedih?”. Aku menjawab: anakku yang terlahir adalah perempuan. Beliau bertanya kembali: “Engkau beri nama apa ia?”. Aku menjawab: “Fathimah”. Beliau kembali berkata: “Ketahuilah jika engkau telah menamainya Fathimah, janganlah engkau berkata buruk kepadanya dan janganlah memukulnya”.”(Wasa’il as-Syi’ah jilid 15 halaman 200)

ZAHRA

Zahra, artinya ialah “yang bersinar” atau “yang memancarkan cahaya”. Imam Hasan bin Ali al-Askari (imam ke-11) bersabda: “Salah satu sebab Sayidah Fathimah dinamai az-Zahra karena tiga kali pada setiap hari beliau akan memancarkan cahaya bagi Imam Ali AS.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 11) Memancarkan cahaya bagaikan matahari pada waktu pagi, siang dan terbenam matahari.

Dalam riwayat lain Imam Shadiq AS bersabda: “Sebab Sayidah Fathimah dinamakan Zahra karena akan diberikan kepada beliau sebuah bangunan di surga yang terbuat dari yaqut merah. Dikarenakan kemegahan dan keagungan bangunan tersebut maka para penghuni surga melihatnya seakan sebuah bintang di langit yang memancarkan cahaya, dan mereka satu sama lain saling mengatakan bahwa bangunan megah bercahaya itu dikhususkan untuk Fathimah AS.”

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa, orang-orang telah bertanya kepada Imam Shadiq AS: “Kenapa Fathimah AS dinamakan Zahra?” Beliau menjawab: “Karena sewaktu beliau berada di mihrab (untuk beribadah) cahaya memancar darinya untuk para penghuni langit, bagaikan pancaran cahaya bagi para penghuni bumi.” (Namha wa Alqaab Hadzrate Fathimah Zahra halaman: 22)

UMMU ABIHA

Panggilan kesayangan bagi Sayidah Fathimah. adalah Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dia adalah puteri yang mulia dari pemimpin para makhluq, Rasulullah SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim.
Fatimah a.s. memperlakukan Rasul SAWW lebih dari perlakuan seorang ibu terhadap anaknya, sebagaimana Rasul SAWW mencintai dan menghormati Az-Zahra’ lebih dari penghormatan seorang anak terhadap ibunya. Sirah Nabawi mengingatkan kita akan sikap Rasul SAWW saat ditemui Az-Zahra’. Beliau berdiri menyambut, menyalami, mencium, dan mendudukkannya di sisi beliau, serta menemaninya dengan seluruh jiwa.
Ketika Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, Sayidah Fathimah keluar dari Madinah menyambutnya dan menghampiri ayahnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fathimah langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air dan membasuh mukanya. Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan kulihat Az-Zahra’ a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang.


MUHADDATSAH

Muhaddatsah, artinya ialah “orang yang malaikat berbicara dengannya”. Telah dijelaskan bahwasanya para malaikat dapat berbicara dengan selain para nabi atau para rasul. Dan orang-orang selain para nabi dan rasul itu dapat mendengar suara dan melihat para malaikat. Sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT telah menjelaskan bahwasanya Mariam bin Imran AS (bunda Maria) telah melihat malaikat dan berbicara dengannya. Hal ini telah disinyalir dalam surah al-Imran ayat 42, “Dan (Ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, Sesungguhnya Allah Telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).”

Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq AS bersabda: “Fathimah dijuluki muhaddatsah karena para malaikat selalu turun kepadanya, sebagaimana mereka memanggil Mariam AS, berbicara dengannya, dan mereka mengatakan: “Wahai Fathimah, sesungguhnya Allah SWT telah memilihmu, mensucikanmu dan memilihmu atas perempuan seluruh alam”. Para malaikatpun menyampaikan kepada Fathimah Zahra AS tentang hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang, raja-raja yang akan berkuasa, dan hukum-hukum Allah SWT. Fathimah Zahra AS meminta kepada Imam Ali AS untuk menulis semua perkara yang telah disampaikan para malaikat kepadanya. Serta jadilah kumpulan tulisan tersebut dinamakan dengan mushaf Fathimah”. (Bihar al-Anwar jilid 43)

Imam Shadiq AS telah berkata kepada Abu Bashir: “Mushaf Fathimah berada pada kami. Dan tiada yang mengetahui tentang isi mushaf tersebut….mushaf tersebut berisikan hal-hal yang telah diwahyukan Allah SWT kepada ibu kami, Fathimah Zahra AS.” (Bihar al-Anwar jilid 43, Fathimah az-Wiladat to Syahadat halaman 111)

MARDHIYAH

Mardiyah, artinya ialah “orang yang segala perkataan dan perilakunya telah diridhoi Allah SWT”. Adapun sebab beliau dijuluki dengan julukan mardiyah karena bersumber pada beberapa hadis yang telah disampaikan Rasulullah SAW berkaitan dengan kedudukan Sayidah Fathimah Zahra AS, dimana beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT murka atas murka-mu dan ridho atas keridhoan-mu.” (Riwayat dengan kandungan seperti ini bisa didapati pada beberapa sumber seperti, Mustadrak ash-Shahihain jilid 3 halaman 153, Kanzul Ummal jilid 6 halaman 219, Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 72, Dzakhairu al-‘Uqba halaman 39)

Catatan: Tentunya hadis-hadis Rasulullah tentang Sayidah Fathimah Zahra AS itu bukanlah berasal dari hawa nafsu dan atas dasar nepotisme seorang ayah terhadap anaknya. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an beliau tidak mengatakan sesuatu berdasarkan hawa nafsu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an: “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (QS an-Najm:3). Maka hadis-hadis itu sebagai bukti akan keistimewaan Fathimah Zahra AS dimata Allah dan Rasul-Nya.

SIDDIQAH KUBRA

Shiddiqah, artinya ialah “seorang yang sangat jujur”, orang yang tidak pernah berbohong. Atau orang yang perkataannya membenarkan prilakunya. (Lisanul Arab dan Taajul Aruus)

Pada waktu menjelang kepergian (wafat) Rasulullah SAW, beliau berkata kepada Ali AS: “Aku telah menyampaikan berbagai masalah kepada Fathimah. Benarkan (percayailah) segala yang disampaikan Fathimah, karena ia sangat jujur.” (Bihar al-Anwar jilid 22 halaman 490)

Dalam sebuah hadis bahwasanya Ummulmukminin Aisyah berkata: “Tidak aku dapatkan seseorang yang lebih jujur dari Fathimah, selain ayahnya.” (Hilyatul Auliya’ jilid 2 halaman 41 dan atau Mustadrak as-Shahihain jilid 3 halaman 16)

Dan kedudukan ini (Shiddiqiin) berada pada tingkatan para nabi, syuhada dan shalihin sebagaimana yang telah disinyalir al-Qur’an: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh, dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa : 6

Rasulullah SAW berkata kepada Imam Ali AS: “Tiga hal berharga telah dihadiahkan kepadamu, dan tidak seorangpun yang mendapatkannya termasuk aku; Engkau memiliki mertua seorang rasul, sementara aku tidak memiliki mertua sepertimu. Engkau memiliki istri yang sangat jujur (shiddiqqah) seperti putriku, sementara aku tidak memiliki istri sepertinya. Engkau dikaruniai anak-anak seperti Hasan dan Husein, sementara aku tidak dikaruniai anak-anak seperti mereka. Namun demikian engkau berasal dariku dan aku berasal darimu.” (Ar-Riyadhu an-Nadrah jilid 2 halaman 202)

RAIHANAH

Dalam sebuah riwayat berkaitan dengan putrinya, Rasulullah SAW bersabda: “Fathimah merupakan wewangianku. Ketika aku merindukan bau surga maka aku akan mencium Fathimah”. (Bihar al-Anwar jilid 35 halaman 45, dan kandungan hadis semacam ini pun bisa didapati dalam tafsir Ad-Durrul Mansur Suyuthi)

BATHUL

Ibnu Atsir dalam karyanya yang berjudul “An-Nihayah” menyatakan: “Kenapa Fathimah dijuluki Al-Bathul? Karena beliau dari segi keutamaan, agama, dan kehormatan lebih dari para perempuan yang ada pada zamannya. Atau karena beliau telah memutuskan hubungannya dengan dunia dan hanyalah mencari kecintaan Allah SWT.” (Hadis dengan redaksi semacam ini juga dapat kita jumpai pada kitab-kitab seperti; Maanil Akhbar hal 54, Ilalu Asy-Syarai’ hal 181, Yanaabi’ al-Mawaddah hal 260)

Dalam kitab “al-Manaqib” pada jilid 3 halaman 133 dijelaskan bahwa seseorang telah bertanya kepada Rasulullah; “Kenapa seseorang dijuluki al-Bathul? Beliau menjawab: “Yaitu perempuan yang tidak keluar darinya darah haid. Sesungguhnya hal itu tidak layak bagi para putri para nabi (lain).” (Al-Manaqib jilid 3 halaman 133, Al-awalim jilid 6 halaman 16)

RASYIDAH

Rasyidah, artinya ialah “wanita yang telah dianugrahi petunjuk”, selalu berada dalam kebenaran dan pemberi petunjuk bagi yang lain. Rasulullah SAW telah memberikan julukan ini kepada putrinya, Fathimah AS. Dalam sebuah riwayat telah dijelaskan bahwasanya Imam Ali AS bersabda: “Beberapa saat sebelum kepergian Rasulullah (wafat), beliau telah memanggilku. Beliau bersabda kepadaku dan Fathimah: “Ini hanutku (ialah kapur barus yang dioleskan ke anggota sujud seorang jenazah, red) yang telah dibawakan Jibril dari surga untukku. Beliau telah menitip salam untuk kalian berdua dan berkata: “Engkau harus membagikan hanut ini, dan ambillah untukmu. Pada saat itu Fathimah AS berkata: “1/3-nya untuk engkau wahai ayahku. Sedang sisanya, biarlah Ali sendiri yang memutuskannya”. Mendengar itu Rasulullah menangis dan memeluk putrinya seraya bersabda: “Engkau adalah wanita yang telah dianugrahi taufiq (pertolongan khusus) dan rasyidah (petunjuk) yang telah mendapatkan ilham dari-Nya, dan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Pada saat itu pula Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali, katakan padaku tentang sisa hanut tersebut”. Aku (Ali) berkata: “Setengah dari yang tersisa ialah untuk Zahra (Fathimah). Dan berkaitan dengan sebagian lainnya apa perintahmu, ya Rasulullah?”. Rasulullah SAW bersabda: “Sisanya untukmu, maka peliharalah.” (Bihar al-Anwar jilid 22 halaman 492)

HAURA INSIYAH (bidadari berbentuk manusia)

Sebelum Rasul melakukan salah satu mi’rajnya(dari beberapa riwayat disebutkan Rasulullah tidak melakukan mi’raj sekali saja, bahkan berkali-kali red), Atas perintah Allah SWT, beliau tidak diperkenankan untuk menemui (mengumpuli) istrinya selama 40 hari. Dan pada hari terakhir beliau dalam mi’raj-nya memakan buah-buahan seperti; kurma dan apel yang berasal dari surga. Seusai beliau memakan buah-buahan yang berasal dari surga itu lantas beliau menemui (mengumpuli) istrinya Sayidah Khadijah AS. Dan dari nutfah (sperma) yang berasal dari buah-buahan surga itulah, Sayidah Khadijah AS mengandung janin Sayidah Fathimah Zahra AS. Oleh karena itu, Sayidah Fathimah Zahra AS dijuluki ‘haura Insiyah’ (bidadari berbentuk manusia). (Tafsir Furat Kufi halaman 119, Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 18, riwayat-riwayat semacam inipun bisa didapati dalam sumber-sumber Ahlusunah seperti; Ad-Durrul Mansur, Mustadrak Shahihain, Dzakhairu al-Uqbah, Tarikh Bagdadi dsb)

Haura insiyah, artinya ialah “bidadari yang berbentuk manusia”, para wanita surga dinamakan bidadari karena putih dan hitam matanya sangat elok dan menarik sekali. Oleh karena itu, seorang wanita yang memiliki mata yang sangat elok seperti bidadari, dijuluki bidadari. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 5)

THAHIRAH

Thahirah berarti yang “suci atau maksum dari dosa dan kesalahan”. Hal ini karena beliau telah disucikan dari salah dan dosa, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 33, “… Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Berdasarkan ayat di atas Allah SWT telah mensucikan Ahlu-Bayt Nabi SAW. Dan salah satu dari Ahlu-Bayt Nabi SAW tersebut adalah Sayidah Fathimah AS. Ayat di atas diturunkan berkaitan dengan “Ashhabul Kisa” (penghuni kain), yaitu Rasulullah, Imam Ali, Sayidah Fathimah Zahra, Imam Hasan dan Imam Husein. Hal ini dapat dirujuk dalam berbagai sumber seperti, Tafsir at-Thabari, Tafsir Ad-Durrul Mansur, Tarikh al-Bagdadi, Tafsir al-Kasyaf, Usudul Ghabah…

Bentuk Tubuh Rasulullah SAW

"Rasulullah SAW bukanlah orang yang berperawakan terlalu tinggi, namun tidak pula pendek. Kulitnya tidak putih bule juga tidak sawo matang. Rambutnya ikal, tidak terlalu keriting dan tidak pula lurus kaku. Beliau diangkat Allah (menjadi rasul) dalam usia empat puluh tahun. Beliau tingal di Mekkah (sebagai Rasul) sepuluh tahun dan di madinah sepuluh tahun. Beliau pulang ke Rahmatullah dalam usia enam puluh tahun. Pada kepala dan janggutnya tidak terdapat sampai dua puluh lembar rambut yang telah berwarna putih." (diriwayatkan oleh Abu Raja' Qutaibah bin Sa'id, dari Malik bin Anas, dari Rabi'ah bin Abi`Abdurrahman yang bersumber dari Anas bin Malik r.a)

Celak Mata Rasulullah SAW

Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu `Abbas r.a. dikemukakan: Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: "Bercelaklah kalian dengan Itsmid*, karena ia dapat mencerahkan pengliahatan dan menumbuhkan bulu mata. Sungguh Nabi saw. Mempunyai tempat celak mata yang digunakannya untuk bercelakpada setiap malam. Tiga olesan di sini dan tiga olesan di sini."
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Humaid ar Razi, dari Abu Daud at Thayalisi, dari Abbad
bin Manshur, dari Ikrimah yang bersumber dari Ibnu `Abbas r.a.)

* Itsmid adalah batu celak biasanya berupa serbuk. Warnanya hitam atau biru. Serbuk itsmid dioleskan pada bulu mata atau disapukan di sekeliling mata.
* Yang dimaksud di sini adalah tiga olesan di mata sebelah kanan dan tiga olesan di mata sebelah kiri.

*) SUMBER : Kitab Asy-Syamail Imam Turmudzi

Pakaian Rasulullah SAW

"Pakaian yang paling disenangi Rasulullah saw. adalah Gamis."

(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Humaid ar Razi, dari al Fadhal bin Musa, diriwayatkan
pula oleh Abu Tamilah dan Zaid bin Habab, ketiganya menerima dari `Abdul Mu'min bin
Khalid, dari `Abdullah bin Buraidah, yang bersumber dari Ummu Salamah* r.a.)

* Ummu Salamah r.a. adalah Ummul Mu'minin Hindun binti Mughirah al Makhzumiyah.

"Sesungguhnya Nabi saw. keluar (dari rumahnya) dengan bertelekan kepada `Usamah bin Zaid. Beliau memakai pakaian Qithri yang diselempangkan di atas bahunya, kemudian beliau shalat bersama mereka."
(Diriwayatkan oleh `Abd bin Humaid , dari Muhammad bin al Fardhal, dari Hammad bin
Salamah, dari Habib bin as Syahid, dari al Hasan, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

* Qithri adalah sejenis kain yang terbuat dari katun yang kasar. Kain ini berasal dari Bahrain tepatnya dari Qathar

Dalam sebuah riwayat Anas bin Malik r.a. mengemukakan: "Pakaian yang paling disenangi Rasulullah saw. ialah kain Hibarah*."
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari Mu'adz bin Hisyam dari ayahnya, dari
Qatadah, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

* Kain Hibarah ialah kain keluaran Yaman yang terbuat dari katun.

"Rasulullah saw. bersabda: "Hendaklah kalian berpakaian putih, untuk dipakai sewaktu hidup. Dan jadikanlah ia kain kafan kalian sewaktu kalian mati. Sebab kain putih itu sebaik- baik pakaian bagi kalian."
(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa'id, dari Basyar bin al Mufadhal, dari `Utsman Ibnu Khaitsam, dari Sa'id bin Jubeir, yang bersumber dari Ibnu `Abbas r.a.)

"Rasulullah saw. bersabda : "Pakailah pakaian putih, karena ia lebih suci dan lebih bagus. Juga kafankanlah ia pada orang yang meninggal diantara kalian."
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari `Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Maimun bin Abi Syabib yang bersumber dari Samurah bin Jundub r.a.)

*) SUMBER : Kitab Asy-Syamail Imam Turmudzi
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Selasa, 19 Mei 2009
0 komentar Label: Rasulullah S.A.W.W
"Sesungguhnya raja *an-Najasyi menghadiahkan sepasang khuf hitampejat kepada Nabi saw. lalu Nabi saw. memakainya dan kemudian ia berwudlu dengan (hanya) menyapu keduanya (yakni tidak membasuh kaki)."
(Diriwayatkan oleh Hinad bin Siri, dari Waki', dari Dalham bin Shalih, dari Hujair bin `Abdullah, dari putera Buraidah, yang bersumber dari Buraidah r.a.)

* Khuf ialah sejenis kaos kaki tapi terbuat dari kulit binatang. Khuf dibuat amat tipis dan tingginya menutupi mata kaki. Khuf biasanya hanya digunakan pada musim dingin untuk mencegah agar kulit kaki tidak pecah-pecah. Biasanya, orang memakai khuf ketika musafir di musim dingin dan masih memakai sepatu luar lagi. Sepatu ini namanya "jurmuq". Para Ulama Indonesia sering menggunakan istilah Mujah untuk terjemahan khuf. Tapi kadangkadang diterjemahkan juga dengan "sepatu khuf".
* An najasyi menurut literature barat umumnya disebut Negust. Negust adalah gelar raja-rajadi Abesina (Habsyi), sekarang dikenal "Ethiopia".

Rasulullah SAW Dan Pengemis Yahudi Buta

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.

Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

Kisah memuliakan tamunya Rasulullah SAW

Ketika Allah melihat salah satu bentuk, dimana Allah SWT memperlihatkan kepada hamba-hambaNya bahwa Allah melihat semua perbuatan yang terkecil sekalipun. Maka disaat itu datanglah tamu kepada Sang Nabi SAW dan Sang Nabi SAW tidak bisa menjamunya karena tidak ada makanan.

Rasul tanya pada istrinya “punya makanan apa kita untuk menjamu tamu ini?”,
istri Nabi saw menjawab “tidak ada, yang ada cuma air”.

Maka Rasul berkata siapa yang mau menjamu tamuku ini? Satu orang anshar langsung mengacungkan tangan aku yang menjamu tamumu ya Rasulullah. Bawa ke rumahnya, sampai dirumah mengetuk pintu dengan keras hingga istrinya bangun.

Kenapa suamiku? kau tampak terburu – buru. “akrimiy dhaifa Rasulillah” kita dapat kemuliaan tamunya Rasulullah. Ayoo.. muliakan, keluarkan semua yang kita miliki daripada pangan dan makanan, semua keluarkan. Ini tamu Rasulullah bukan tamu kita, datang kepada Rasul, Rasul SAW tidak bisa menyambutya.

Rasul tanya “siapa yang bisa menyambutnya?”, aku buru-buru tunjuk tangan, ini kemuliaan besar bagi kita.

Istrinya berkata “suamiku, makanannya hanya untuk 1orang. Tidak ada makanan lagi, itu pun untuk anak – anak kita. 2 orang anak – anak kita hanya akan makan makanan untuk 1 orang, kau ini bagaimana menyanggupi undangan tamu Rasul? kau tidak bertanya lebih dulu? apakah kita punya kambing, punya ayam, punya beras, punya roti, jangan main terima sembarangan!”

Maka suaminya sudah terlanjur menyanggupi “sudah kalau begitu anak kita tidurkan cepat – cepat, matikan lampu agar anaknya tidur”. “belum makan, suruh tidur jangan suruh makan malam, biar saja”.

Ditidurkan anaknya tanpa makan. Lalu tinggal makanan yang 1 piring untuk 1 orang, “ini bagaimana? tamunya tidak mau makan kalau hanya ditaruh 1 piring kalau shohibul bait (tuan rumah) tidak ikut makan karena cuma 1 piring makanannya”.

Suaminya berkata “nanti sebelum kau keluarkan piringnya, lampu ini kau betulkan lalu saat makan tiup agar mati pelitanya, jadi pura–pura lampu mati. Taruh piring, silahkan makan dan kita taruh piring kosong di depan kita, tamu makan kita tidak usah makan tapi seakan – akan makan dan tidak kelihatan lampunya gelap”.

Maka tamunya tidak tahu cerita lampunya mati, pelitanya rusak, tamunya makan dengan tenangnya, nyenyak dalam tidurnya, pagi – pagi shalat subuh kembali kepada Rasul saw “Alhamdulillah ya Rasulullah aku dijamu dengan makanan dan tidur dengan tenang”. Rasul berkata “Allah semalam sangat ridho kepada shohibul bait (tuan rumah) yang menjamumu itu” (shahih Bukhari). Allah tersenyum, bukan Allah itu seperti manusia bisa tersenyum tapi maksudnya Allah sangat sayang dan sangat gembira. Dengan perbuatan itu Allah sangat terharu, bukan terharu karena tamunya saja tapi juga karena shohibul bait berucap. “akrimiy dhaifa Rasulillah” muliakan tamu Rasulullah. Ini yang membuat Allah terharu, untuk tamunya Rasulullah rela anaknya tidak makan, tidur semalaman dalam keadaan lapar untuk memuliakan tamunya Rasulullah saw.

-Al Habib Munzir Fuad Al Musawa

Rabu, 21 Juli 2010

Siapakah Syeikh Abdul Qodir Al Jailani ?

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang ‘alim di Baghdad. Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy. Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama’ seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’.

Suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama’ terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.

Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, “ kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. 1)

Beliau adalah seorang ‘alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya.

Diantara perkataan Imam Ibnu Rajab ialah, “ Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik ‘ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri ( orang Mesir ) 2) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar ( kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk beregang dengannya, sehingga aku meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas.3) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far Al Adfwi4) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.”5)

Imam Ibnu Rajab juga berkata, “ Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki pendapat memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah .”

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, “ Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas ‘arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata “ Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ ( Allah berada diatas ‘arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah diatas arsys.”6)

Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, “ Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali ( kekasih ) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau menjawab, “ Tidak pernah ada dan tidak akan ada.”7)

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.

Sam’ani berkata, “ Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.”

Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan bekiau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, “ Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan ( ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ).

Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi ”.

Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “ Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah.8) Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.”9)

Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.

Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah n, maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah n adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.

Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do’a mereka. Berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah,

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah.

Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya

Disamping ( menyembah ) Allah.

( QS. Al-Jin : 18 )

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah.

Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.

Wallahu a’lam bishshawab.
1) Siyar A’lamin Nubala XX/442

2) Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.

3) Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.

4) Nama lengkapnya ialah Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.

5) Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.

6) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515.

7) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516.

8) Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94.

9) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.

Selasa, 20 Juli 2010

Kisah Abu Sufyan bin Harb

Abu Sufyan bin Harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah. Dia seorang saudagar terkenal, banyak mengenal keinginan pasar. Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup masyarakatnya. Ia juga seperti yang dikatakan banyak orang, antara lain al-’Abbas bin Abdul Muththalib, senang dipuji dan dibanggakan orang.

Ia dilahirkan sepuluh tahun sebelum terjadinya penyerbuan tentara gajah ke Mekkah. Ia sering memimpin kafilah perdagangan kaum Quraisy ke negeri Syam dan ke negeri ‘ajam (selain Arab) lainya. Ia suka keluar dengan membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan ‘Al-’Uqab”. Panji itu tidak dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy. Kalau terjadi peperangan, panji itu pun hanya dipegang olehnya.

Putranya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallâhu ‘anhu adalah seorang penulis wahyu. Ia pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam sebelum pemerintahan Khalifah Umar ibnul-Khaththab radhiallâhu ‘anhu. Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan radhiallâhu ‘anha. (Ummu Habibah), adalah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam . Dan termasuk salah seorang dari Ummahaatul Mukminin radhiallahu ‘anhunna.

Ummu Habibah, istri Abdullah bin Jahsy, pergi berhijrah ke negeri Habasyah bersama dengan suaminya. Di negeri nun jauh itu tiba-tiba suaminya tergoda masuk agama Nashrani. Karenanya, ia minta cerai. Sesudah berakhir ‘iddahnya, Raja Najasyi memanggilnya seraya berkata kepadanya, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menulis surat kepada saya untuk mengawinkan anda dengan beliau” .

Ramlah lalu berkata, “semoga Allah akan menggembirakan dan membahagiakan Paduka tuan juga!”

Ramlah pun akhirnya menjadi isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Abu Sufyan mendengar berita perkawinan puterinya itu dengan Rasulullah, ia berkata, “Unta jantan ini semoga tidak dipotong hidungnya!”

Abu Sufyan mendengar dakwah yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ternyata dia merupakan orang yagn paling gigih melawan dan memeranginya. Dia pernah juga menyertai delegasi kaum Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau menyerahkan keponakannya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya dengan seorang pemuda Quraisy lainya yang mereka pandang lebih mendatangkan keberuntungan bagi mereka semua.

Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani Hasyim, yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli dengan mereka.

Tiba saatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia di negeri yang tentram ini.

Pada suatu saat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa Abu Sufyan sedang dalam perjalanan dari Syam ke Mekkah, memimpin kafilah dagang kaum Quraisy, kaum yang selama lebih dari sepuluh tahun telah menyiksa dan menyengsarakan mereka, yang telah mengusir mereka keluar dari negerinya dan juga merampas harta kekayaannya. Abu Sufyan sendiri terlibat dalam perbuatan jahat dan keji itu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan hal itu, terutama kepada kaum Muhajirin, “Kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan segera akan melintasi daerah kita. Marilah kita keluar mencegatnya. Barangkali Allah akan menggantikan apa-apa yang telah mereka rampas dari kita dahulu!”

Ketika tiba di perbatasan Hijaz, Abu Sufyan mulai dirundung firasat tidak enak. Ia selalu bertanya kepada setiap orang atau kafilah yang datang dari jurusan Madinah dengan perasaan was-was dan takut. Akhirnya ia mendengar dari salah satu sumber yang meyakinkan bahwa Muhammad telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat kafilah yang dipimpinnya.

Abu Sufyan lalu membayar seorang kurir untuk mengirimkan kabar tentang hal itu ke kota Mekkah, namanya Dhamdham bin Amru al-Ghifari. Dalam pesannya itu, ia berharap supaya kaum Quraisy mengirimkan pasukannya untuk melindungi kafilah yang dipimpinnya dari serangan Muhammad dan para sahabatnya.

Ternyata diluar dugaan, Abu Sufyan berhasil menempuh jalan keluar dari kepungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia segera mengirim kurir yang lain untuk menemui kaum Quraisy yang hendak melindungi kafilahnya. Ia berkata, “Kalian keluar untuk menyelamatkan kafilah, harta, dan orang-orang kalian. Kini, semuanya itu sudah diselamatkan oleh Allah. Kami harap kalian segera kembali ke Mekkah”.

Abu Jahal berkata kepada anggota pasukannya , “Demi Allah, kami tidak akan kembali hingga sampai ke Badar. Disana, kami akan berdiam tiga hari tiga malam, bersuka ria, memotong ternak, makan-makan, minum-minuman keras, dan wanita menyanyi dan menari agar bangsa Arab mendengar dan mengetahui perjalanan dan berkumpulnya kami, dan senantiasa menakuti kami. Ayo jalan terus!”

Terjadilah peperangan di Badar antara pasukan yang dipimpin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan yang dipimpin Abu Jahal. Dalam peperangan itu, Abu Jahal dan banyak tokoh Quraisy lain tewas, dan banyak juga yang tertawan. Diantara yang tertawan itu adalah Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, suami Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Kaum Quraisy mengirimkan tebusan untuk pembebasan para tawanannya, sedangkan Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan liontin pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwalid.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, lalu ia bersabda kepada para sahabatnya dengan penuh haru, “Kalau kalian ridha melepaskan tawanannya dan mengembalikan hartanya, silahkan!”

Mereka menyambutnya, “Baiklah, ya Rasulullah!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta janji Abul ‘Ash bahwa ia akan melepaskan putrinya, Zainab, pergi ke Madinah. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengirimkan Zaid bin Haritsah dan seorang lainnya dari orang Anshar untuk mengawalnya. Rasulullah bersabda kepada orang itu, “Kalian berdua hendaklah menunggu kedatangan Zainab di Lembah Ya’jaj kemudian menyertainya hingga datang ke sini”.

Sesudah Abul ‘Ash tiba di Mekkah, ia langsung memerintahkan Zainab (isterinya) pergi ke Madinah untuk menyusul ayahnya. Sesudah keberangkatannya dipersiapkan, ia meminta kepada saudaranya, Kinanah bin ar-Rabi’, untuk mengawal keberangaktan isterinya itu. Kinanah berangkat di siang hari dengan mengendarai unta, membawa panah dan busurnya, sedangkan sayyidatina Zainab di atas haudaj.

Keluarnya Zainab ini sempat membuat ketegangan di kalangan kaum Quraisy yang baru kalah perang di Badar. Mereka mengejarnya dan berhasil menyusulnya di suatu tempat yang bernama Dzi Thuwa. Orang yang pertama berhasil mengejarnya ialah Hubar bin al-Aswad bin Abdul Muththalib bin Ased.

Kinanah dengan cekatan menghadang Hubar seraya berkata, “Demi Allah, jangan ada yang mendekati kami. Kalau tidak, aku tidak ragu-ragu melepaskan panahku ini”. Orang-orang pun menjauh darinya.

Tak lama setelah itu, Abu Sufyan datang dengan rombongannya hendak melerai kedua rombonga itu. Ia berkata: “Kinanah! Masukkanlah anak panahmu. Kami akan berbicara denganmu”. Ia pun lalu memasukkan anak panahnya ke sarungnya.

Abu Sufyan lalu menasehatinya: “Kamu tidak tepat membawa keluar wanita itu di siang hari, padahal kamu tahu benar apa yang telah dilakukan Muhammad terhadap tokoh kita di Badar baru-baru ini. Dengan mengeluarkan putrinya di siang hari dari tengah-tengah kita, akan menimbulkan anggapan pada masyarakat bahwa kita melakukannya dalam keadaan hina dan lemah. Kami tidak berkepentingan untuk memisahkannya dari ayahnya, namun kami ingin wanita itu dibawa dahulu ke Mekkah, sampai suara-suara yang membicarakan kekalahan perang di Badar itu usai, barulah kamu membawanya keluar secara diam-diam.

Kinanah membawa Zainab kembali lagi ke Mekkah. Sesudah beberapa malam, ketika pembicaraan Quraisy tentang kekalahannya sudah mulai mereda, barulah ia membawa keluar dengan diam-diam dan menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan rekannya itu.

Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufyan telah bertindak bijaksana sekali hingga dapat mengekang amarah kaum Quraisy yang sedang berkobar-kobar dan sekaligus berhasil juga memenuhi keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengirimkan putrinya ke Madinah.

Belum setahun dari kekalahanya di Badar, kaum Qurasiy telah berhasil mengarahkan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Mekkah untuk emerangi Muhammad. Abrang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkan dari akum muslimin dahulu itu diapakai sebagfai modal utama untuk membiayai peperangan yang akan mereka lancarkan. Pasukan dipimpin oleh Abu Sufyan sendiri. Ia Keluar dengan isterinya, Hindun binti Utbah.

Ternyata, dalam peperangan itu, kaum Quraisy meraih kemenangan karena pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak meninggalkan kedudukannya di atas Bukit Uhud. Allah Ta’ala ingin memelihara kaum muslimin yang akan mengemban tugas menyebarkan agama-Nya ke seluruh penjuru dunia, agar mereka senantiasa bersatu padu, tidak bercerai berai, dan selalu kompak dan patuh pada perintah pimpinannya.

Sesudah peperangan usai, Abu Sufyan naik ke atas puncak Gunung Uhud seraya berteriak dengan suara keras, “Peperangan berakhir dengan seri, Perang Badar dengan perang Uhud. Pujalah Dewa Hubal, agamamu telah menang!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Umar, jawablah mereka dan katakanlah, ‘Allah Maha Agung. Mayat orang-orang kami di surga dan mayat orang-orang kalian di api neraka”.

Sesudah Umar menjawab pertanyaannya, Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Umar, mari Anda ke sini!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Umar, “Hampirilah, Umar! Apa maunya?”

Umar pergi menghampirinya, lalu Abu Sufyan bertanya, “Saya mohon kepadamu, wahai Umar apakah pasukan kami telah membunuh Muhammad ?”

Umar menjawab, “Demi Allah, tidak. Dia mendengar bicaramu itu hingga kini”.

Ia lalu berkata dengan tegas: “Saya lebih percaya kepadamu daripada Ibnu Qamiah, yang mengatakan ia telah berhasil membunuh Muhammad!”

Sewaktu ia akan kembali pulang, Abu Sufyan mengatakan lagi, “Kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang di Badar”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan salah seorang sahabat untuk menjawab tantangan Abu Sufyan itu, “Katakanlah kepadanya, kami akan sambut tantanganmu”.

Abu Sufyan kembali dengan pasukannya. Di tengah jalan, ada seorang yang berkata kepada mereka, “Kita memang telah membunuh banyak pimpinan tertinggi kaum muslimin. Akan tetapi, mengapa kita tidak menumpas sisa-sisanya agar tidak memberikan kesempatan hidup lagi kepada mereka?”

Abu Sufyan termakan oleh pendapat itu. Akan tetapi, belum sempat ia memutar kepala kudanya, ia melihat Ma’bad bin Ma’bad al-Khuza’i datang dari arah uhud. Abu Sufyan lalu bertanya kepadanya, “Ada kabar apa, wahai Ma’bad?”

Ia menjawab, “Muhammad dan kawan-kawanya sedang mengejar-ngejar kalian dengan pasukan yang tiada taranya. Orang-orang yang tidak ikut berperang bersamanya, kini sedang berkumpul dan menyesali diri. Mereka dengan perasaan marah akan mengejar kalian dan membalas dendam atas kekejaman yang derita kawan-kawannya”.

Abu Sufyan mengigil ketakutan. Ia bertanya, “Celaka, Apa katamu?”

Ma’bad berkata lagi, menegaskan: “Menurut pendapat saya, sebaiknya kalian cepat-cepat pulang kembali!”

Abu Sufyan berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami berniat akan kembali dan menumpas sisa tokoh mereka yang masih hidup”.

Ma’bad menasehati mereka, “Saya menasehatimu, janganlah Anda melakukannya!”

Setelah mendengar nasihat Ma’bad, mereka cepat-cepat kembali pulang ke Mekkah.

Abu Sufyan telah mengerahkan pasukannya dan mendatangkannya untuk menyerang kaum muslimin di Uhud. Dia juga telah bertindak sebagai panglima tertinggi dalam peperangan ini sehingga banyak sahabat pilihan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tewas karenanya, bahkan ia telah berjanji akan melancarkan serangan lagi tahun depan.

Lalu, apa yang mungkin dilakukan sedangkan kekayaan, perlengkapan, dan pasukan mereka tidak terbilang banyaknya?

Memang Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Lahab sudah tewas. Kalau Abu Sufyan termasuk orang yang tewas juga tentu keadaan akan berubah jauh, tentu banyak orang yang menganut Islam dengan terang-terangan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang Abu Sufyan; ternyata banyak diantara mereka yang memberikan saran supaya dibunuh saja. Ia bertanggung jawab atas tewasanya para sahabat pilihan di medan Uhud. Jadi, kalau ia di bunuh, ini hanya merupakan qishas semata-mata, bukan suatu tindakan kejahatan. Rasululklah Shallallahu ‘alaihi wasallam puas atas hasil musyawarah itu.

Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan untuk mengirimkan Amru bin Umayyah ad-Dhamri dan seorang dari golongan Anshar pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu Sufyan.

Kedua orang itu pergi memenuhi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Amru menceritakan misinya, “Saya keluar bersama rekan saya yang kurang sehat. Saya membawanya diatas untaku hingga mencapai Lembah Ya’jaj, tidak jauh dari Mekkah.

Aku berkata kepada rekanku: “Kita tinggalkan unta kita disini dan kita pergi mencari Abu Sufyan dan membunuhnya. Kalau kamu melihat sesuatu yang mengkhawatirkan, cepat-cepat pergi ke tempat unta itu dan kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ceritakan apa-apa yang telah terjadi kepadanya, tidak usah memikirkan aku’.

Kami memasuki kota Mekkah. Aku menyandang sebilah Khanjar (belati). Aku sengaja persiapkan kepada siapa-sapa saja yang menghalang-halangiku. Rekanku berkata kepadanya, ‘Apakah tidak sebaiknya kita Thawaf dahulu dan Shalat dua raka’at?’

Saya menjawabnya, ‘Biasanya penduduk kota Mekkah duduk-duduk di halaman rumah mereka dan saya mengenali mereka’.

Kami memasuki Baitullah, lalu kami thawaf dan shalat dua raka’at disana, kemudian kami keluar dan melewati tempat mereka duduk-duduk. Ternyata, sebagian dari mereka mengenaliku, lalu berteriak sekeras-kerasnya, ‘Itu Amru bin Umayyah’.

Penduduk kota Mekkah keluar mengejar kami dan berkata:’ dia tidak datang melainkan utnuk melakukan suatu kejahatan’.

Aku berkata kepada rekanku, ‘Selamatkan dirimu!’

Kami melarikan diri keatas gunung, lalu memasuki sebuah gua. Kami bermalam dua hari dua malam disana, menunggu keadaan tenang. Tiba-tiba Utsman bin Malik dengan menunggang kuda ada di pintu goa. Saya keluar dan menikamnya dengan khanjarku. Dia berteriak dengan sekeras-kerasnya sehingga penduduk Mekkah datang menghampirinya, sedangkan saya kembali bersembunyi. Mereka menemukannya sudah dalam keadaan sekarat. Mereka bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menikammu?’

Dia menjawab, ‘Amru bin Umayyah,’ lalu ia menghembuskan napas terakhirnya dan tak sempat memberitahukan kepadanya tempat persembunyianku. Kini mereka disibukan mengurusi mayatnya sehingga tidak sempat mencari tempat persembunyianku. Aku tinggal di gua itu dua hari lagi sampai keadaan menjadi benar-benar tenang.

Setelah itu, kami keluar menuju Tan’im, suatu tempat yang tidak jauh dari Mekkah. Disana, saya menemukam mayat Khubaib tergantung diatas sebuah kayu; disekitarnya terdapat beberapa orang pengawal. Saya menurunkan mayatnya, lalu memanggulnya. Belum sampai empat puluh langkah dari tempatnya, mereka sadar dan mengejar saya. Saya meletakkan mayat Khubaib dan melarikan diri, sampai mereka tidak mengejarku lagi. Adapun rekanku telah kembali dengan mengendarai untanya dan menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai mayat Khubaib, sejak saat itu tidak terlihat lagi, seolah-olah telah di telan bumi”.

Dikisahkan bahwa Abu Sufyan berkata kepada Khubaib ketika hendak dibinihnya, “Ya Khubaib, maukah kau kalau menggantikan tempatmu sekarang, akan kami penggal batang lehernya sedangkan aku duduk dengan keluargaku.”

Abu Sufyan terheran-heran, “Belum pernah aku melihat ada seseorang yang mencintai seseorang lebih dari sahabat Muhammad mencintai Muhammad.” Dia pun lalu dibunuhnya.

Sudah menjadi takdir Allah Ta’ala bahwa Abu Sufyan tidak mati terbunuh. Misi ‘Amru bin Umayyah gagal untuk membunuhnya. Abu Sufyan hidup dan berkesempatan untuk mengerahkan para kabilah Arab untuk memerangi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kali ini, ia bertujuan untuk menyerang kota Madinah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk menggali parit sesuai dengan saran Salman al-Farisi radhiallâhu ‘anhu. Begitu parit itu selesai digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan tiba, tetapi mereka tidak berhasil menerobos kota Madinah. Mereka mendirikan perkemahannya di luar parit itu. Pada saat itu, kaum muslimin menghadapi musuh baru dari Madinah yaitu kaum Yahudi. Pada waktu itu Huyai bin Ahthab datang menemui Ka’ab bin Asad, pimpinan baru Quraizhah. Dia sudah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atas nama kaumnya. Ia lalu menutup pintu bentengnnya dan tidak memberi izin kepada Huyai untuk memasukinya, seraya berkata, ‘Kau seorang yang sial. Saya sudah mengadakan perjanjian dengan Muhammad dan ternyata dia tetap setia dengan perjanjiannya itu”.

Huyai menjawab, “wahai Ka’ab, saya datang membawa berita gembira dan kemuliaan abadi. Saya datang kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy dan Ghathafan. Mereka sudah berjanji kepadaku untuk tidak akan meninggalkan negeri ini sebelum menumpas Muhammad dan para sahabatnya”.

Ka’ab menjawab: “Kalau begitu, kau telah mengundang kehinaan abadi!” Celaka kau, wahai Huyai, biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!”

Akan tetapi, Huyai tidak membiarkan Ka’ab melepaskan diri dari cengkramanannya, sampai ia mau melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Dia mengadakan perjanjian dengan Huyai, “Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan kembali dan tidak berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki bentengmu dan hidup senasib dengan kau!”

Pada saat itu, kaum muslimin menderita ketakutan yang luar biasa karena harus menghadapi dua front: Quraisy dan Ghathafan dari luar serta Yahudi Bani Quraizhah dari dalam, seperti yang dilukiskan dalam Al-Qur’an:

“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (QS. Al-Ahzab: 10-11)

Malapetaka ini terjadi karena lebih dari dua puluh malam, kedua pasukan yang sudah berhadapan itu tidak dapat berbuat selain menggunakan panahnya masing-masing. Tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam, tetapi kaumku belum ada yang tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kamu hanya sendirian. Lakukanlah apa yang mungkin kamu lakukan untuk menyelamatkan kami karena peperangan itu tipu daya”.

Nu’aim lalu pergi menemui tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di zaman jahiliyyah, mereka bersahabat . Nu’aim berkata kepada mereka: “kalian sudah mengetahui hubungan baik antara aku dan kalian”.

Mereka menjawab: “Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun terhadapmu”.

Lalu, sambungnya lagi, “Kalian telah membela Quraisy dan Ghathafan melawan Muhammad padahal mereka tidak senasib dengan kalian. Negeri ini adalah tanah airmu; disana terdapat kekayaan, anak-anak, dan isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin bisa meninggalkan semua itu, sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka melihat kemenangan, mereka akan ribut, kalau mereka melihat lain dari itu, mereka akan melarikan diri ke negeri mereka dan meninggalkan kalian menjadi makanan empuk Muhammad dan kalian pasti tidak akan sanggup melawannya. Janganlah kalian memeranginya sebelum kalian mendapat jaminan dari tokoh-tokoh mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian sebelum mereka berhasil menumpas Muhammad”.

Mereka menjawab, “Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali!”

Kemudian Nu’aim pergi menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya, seraya berkata, “Kalian sudan mengetahui hubungan baikku dengan kalian dan kerengganganku dengan Muhammad. Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah menyesali tindakannya dan mereka telah mengirim delegasi kepada Muhammad dan menanyakan, ‘Apakah Anda mau menerima kalau kami meminta jaminan tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami serahkan kepada Anda untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan anda memperkuat persahabatan yang telah ada?”

Tampaknya, tawaran mereka itu diterima baik. Jadi, kalau mereka meminta jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah kalian memenuhinyya meskipun hanya seorang saja”.

Nu’aim lalu pergi menemui pimpinan Ghathafan dan berkata, “Kalian terbilang keluarga dan familiku sendiri”. Ia lalu memperingatkan mereka seperti yang disampaikan kepada pimpinan Quraisy.

Begiru Nu’aim pergi, Abu Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal untuk menemui pimpinan Bani Quraizhah, seraya berkata kepada mereka, “Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera melancarkan peperangan untuk menumpas Muhammad”.

Ternyata jawaban mereka persis seperti yang dikatakan Nu’aim, “Kami tidak bersedia berperang bersama dengan kalian kecuali kalau kalian mau memberi jaminan yang meyakinkan kepada kami. Kami khawatir, kalian akan segera kembali ke negeri kalian dan membairkan kami menjadi umpan Muhammad sedang kami berada di negerinya”.

Delegasi Ikrimah kembali dari perkampungan Bani Quraizhah dengan tangan hampa. Ia menyampaikan kepada Abu Sufyan semua yang didengarnya. Lalu, sambut Abu Sufyan, “Demi Allah benar sekali apa yang dikatakan Nu’aim bin Mas’ud!”

Abu Sufyan lalu mengirimkan jawaban tegas kepada Bani Quraiszah, Demi Allah kami tidak akan menyerahkan tokoh-tokoh kami seorangpun juga!”

Berkata tokoh Bani Quraizah yang menerimannya, “Sungguh tepat apa yang dikatakan Nu’aim bun Mas’ud kepada kami”.

Allah Ta’ala mengacau-balaukan rencana jahat mereka, sementara itu, ke perkemahan Quraisy dan Ghathafan dikirimkan angin kencang yang memporak-porandakan kemah dan perlengkapannya, seperti yang dilukiskan Al-Qur’anul Karim:

“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya.Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9)

Abu Sufyan kabur kembali dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat itu bersabda, “Kini kami yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami lagi”.

Ternyata sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu tepat sekali, perjanjian damai antara Quraisy dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berhasil ditandatangani.

Dalam kesempatan baik ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan surat dan delegasinya ke seluruh penjuru bumi, mengundang raja-raja dan kepala negaranya untuk masuk agama Islam. Diantara surat-suratnya itu ada yang dikirimkan kepada Heraclius, Kaisar Bizantium, yang dibawa oleh Dahyah al-Kullabi.

Konon, Kaisar bersedia menerima tawaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu, namun baginda khawatir terhadap reaksi rakyatnya.

Ketika Heraclius ada di negeri Syam kebetulan banyak pedagang dari Mekkah sedang berdagang di sana. Mereka telah dihadapkan kepada baginda beberapa orang, antara lain Abu Sufyan. Heraclius mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya seraya berkata: “Saya akan bertanya kepadamu. Kalau ia berbohong, sangkallah!”

Abu Sufyan berkata mengenang peristiwa itu: “Kalau saya tidak khawatir dicap pembohong, tentu saya akan berbohong kepadanya. Saya ditanyai tentang Nabi, saya berusaha memperkecil perannya, namun baginda tidak menghiraukan keterangan saya itu, lalu tanyanya tiba-tiba:

“Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?”
“Keluarganya terbilang keluarga bangsawan”.
“Apakah ada diantara keluarganya yang mengaku Nabi?”
“Tidak!”.
‘Apakah ada hak-haknya yang pernah kalian rampas?”
“Tidak”.
“Siapa para pengikutnya?”
‘Mereka terdiri atas para orang lemah, miskin, dan anak muda’.
‘Apakah para pengikutnya mencintai dan mematuhinya, atau meninggalkannya?”
“Tidak ada yang mengikutinya lalu meninggalkannya”.
“Bagaimana peperangan yang terjadi antara dia dan kamu?”
“Sekali kami menang dan sekali lagi dia yang menang”.
“Apakah dia pernah berbuat curang?”
“Saya tidak pernah mencurigainya. Kini, kami sedang berdamai dengan dia, namun kami tidak saling curiga”.

Heraclius berkata lagi: “Saya bertanya kepadamu tentang nasabnya, Anda mengatakan bahwa dia terbilang keluarga bangsawan dan begitulah para nabi umumnya”.

Saya bertanya kepadamu, apakah ada diantara keluarganya yang mengaku nabi, Anda mengatakan tidak.

Saya bertanya kepadamu, apakah ada hak-haknya yang kalian rampas, lalu dia bangkit untuk menuntutnya, anda mengatakan tidak.

Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, anda mengatakan mereka terdiri atas para mustadh’afiin dan fakir miskin, dan memang begitulah pengikut para rasul.

Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, apakah mereka mencintainya atau meninggalkannya, anda mengatakan bahwa para pengikutnya mencintainya dan tidak ada yang meninggalkannya. Begitulah lezatnya keimanan apabila sudah memasuki kalbu seseorang, tidak akan sudi keluar lagi.

Saya bertanya kepadamu, apakah ia pernah melakukan kecurangan, anda menjawab tidak. Kalau Anda mau percaya, dia pasti akan menaklukkan bumi yang ada dibawah telapak kakiku ini. Rasanya aku ingin sekali mencuci kedua kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan tugas-tugas Anda!’

Selanjutnya, Abu Sufyan berkata: ‘Aku keluar dari hadapan Kaisar Heraclius dengan rasa takjub, lalu berkata: ‘Sungguh menakjubkan keadaan Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni Muhammad). Kaisar Romawi merasa takut kekuasaannya akan terancam”.

Akan tetapi, mengapa Abu Sufyan tidak cepat masuk Islam? Apakah ia ragu-ragu akan kejujuran Muhammad?
Raja Romawi tidak mengingkari kenabian Muhammad. Malah, kalau ia ada dihadapannya, tentu ia akan mencuci kedua kakinya.

Sesungguhnya, rintangan utama yang menghalang-halangi Abu Sufyan masuk Islam tidak lain hanyalah soal kekuasaan dan kewibawaan, yaitu kepemimpinan Quraisy. Dia Khawatir semuanya itu akan jatuh ke tangan Muhammad, sampai ada diantara mereka yang nekat berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih”. (QS.al-Anfaal: 32)

Ternyata Allahlah yang menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak lama memegang tampuk kepemimpinan atau tongkat komando. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Quraisy sesudah perang Khandaq tidak akan mampu menyerang kaum muslimin lagi, tetapi giliran kaum musliminlah yang akan menyerang mereka untuk menaklukkan kota Mekkah.

Memang benteng kaum kafir dan musyrik itu harus dikikis habis dari muka bumi.

Abu Sufyan mengetahui benar apa tujuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekkah. Kali ini, ia pergi seorang diri tanpa pasukan menuju ke Medinah, tidak membawa senjata dan perlengkapan apa pun.

Ia pergi ke Medinah dengan penuh rasa gelisah dan ketakutan. Setiba disana, ia langsung menemui putrinya, Ummu Habibah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia hendak duduk diatas permadani yang biasa di duduki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, putrinya cepat-cepat menariknya dan menggulungnya.

Abu Sufyan marah sekali atas perlakuan putrinya itu dan berkata, “Apakah kau lebih menghargai permadani itu daripadaku?”. Dia berkata lagi,” Putriku, sungguh kamu sudah kerasukan setan!” Dia lalu keluar pergi menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun beliau tidak mau menjawabnya sepatah katapun.

Dia lalu keluar dan pergi menemui Abu Bakar, meminta agar ia mau membantunya memperlunak sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi Abu Bakar radhiallâhu ‘anhu menjawabnya dengan tegas, “Saya tidak dapat melakukannya!”

Dia lalu pergi menemui Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu melihat Abu Sufyan, ia cepat-cepat memasuki kemah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan memberitahukan hal itu seraya meminta, “Ya Rasulullah, berikanlah izin kepadaku untuk memenggal batang lehernya!”

Abbas radhiallâhu ‘anhu mendahuluinya dan berkata, “Ya Rasulullah, saya sudah melindungi dan menjaminya!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memerintahkan, “Bawa pergilah dia dan bawa kembalilah nanti siang. Kami sudah memberinya perlindungan”.

Siang harinya, Abbas membawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lagi, Rasulullah menegurnya, “Celaka kau, Wahai Abu Sufyan! Apakah kau belum juga mau sadar bahwa tiada tuhan selain Allah?”.

Abu Sufyan menjawab: “Tentu, hal itu tidak dapat saya menyangkalnya sedikit pun”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegurnya lagi, “Celaka kau Abu Sufyan, apakah kau belum juga sadar bahwa saya Rasul Allah?”

Abu Sufyan menjawab, “Kalau soal ini, rasanya dalam jiwaku masih terdapat keberatan sedikit”.

Abbas lalu membentaknya, “Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan sebenarnya sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu” .

Dia lalu mengucapkan syahadatain bersama dengannya; telah menyatakan islamnya juga: Hakim bin Hizam dan Budail bin Warqa’.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyuruh Abbas supaya menahan Abu Sufyan hingga usai parade militer, ‘Tahan dia sampai melihat pawai tentara Allah!”

Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan senang juga pada pujian. Berikanlah sesuatu yang ia bisa banggakan kepada kaumnya!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, aman; siapa yang memasuki rumah Hakim bin Hizam, aman; siapa yagn memasuki Masjidil Haram, aman; dan siapa yang menutup pintu rumahnya, dia juga aman!”

Selanjutnya, Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Saya mengajak Abu Sufyan duduk diatas sebuah puncak gunung, lalu pawai tentara Allah itu mulai bergerak di hadapan kami, rombongan demi rombongan: Kabilah Aslam, Juhainah, barisan Muhajirin dan Anshar, dan seterusnya. Setelah Abu Sufyan melihat pameran kekuatan itu, ia berkata, ‘Sungguh besar kerajaan anak saudaramu itu!”

Saya menjawabnya, ‘Celaka kau. Ia bukan kerajaan, tetapi kenabian!’
Abu Sufyan berkata, ‘Benar juga!’

Abbas lalu memerintahkan kepada Abu Sufyan supaya segera kembali ke Mekkah dan memperingatkan kaumnya jangan sampai mereka melanggar perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam segera pulang kembali ke kota Mekkah. Setiba di Masjidil Haram, keduanya berteriak-teriak memanggil kaumnya, Wahai kaum Quraisy, pasukan Muhammad telah datang dengan kekuatan yang tidak terbilang besarnya”.

Keduanya berkata lagi, “Siapa yang memasuki rumahku, dia akan aman; siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan aman; siapa yang menutup pintunya, dia akan aman. Wahai kaum Quraisy, masuklah Islam, kalian akan selamat!”

Allah Ta’ala menakdirkan Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi penyeru Islam. Orang yang selama bertahun-tahun menjadi panglima kaum musyrikin, kini sudah menjadi seorang tentara Allah. Ayah Mu’awiyah radhiallâhu ‘anhu, penulis wahyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kini sudah masuk Islam. Kini, ia ikut serta menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru bumi yang jauh.

Ayah Ummu Habibah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah masuk Islam. Ayah Yazid bin Abi Sufyan, kini sudah masuk Islam. Isterinya pun, yang dinyatakan sebagai salah seorang penjahat perang, telah masuk Islam juga, malah ia telah menghancur luluhkan berhala yang ada dirumahnya, seraya berkata, “Selama ini, kami tertipu oleh kamu!”

Kehidupan Abu Sufyan berjalan mulus dalam pengkuan Islam. Sejarah tidak mencatat sesuatu yang berarti kecuali sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan rapat di Saqifah Bani Saa’idah untuk memilih Khalifah kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib radhiallâhu ‘anhu tidak menghadiri bai’at itu karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ternyata kaum muslimin telah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam .

Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang menyatakan beriman kepada dakwah Rasulullah, orang pertama yang mempercayainya ketika kembali dari Isra’ dan Mi’raj. Ia berkata kepada orang membawa berita itu kepadanya, “Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan demikian, tentu beritanya itu benar!”

Dia adalah kawan senasib dan sependeritaan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada dalam gua, ketika keduanya hendak berhijrah ke Madinah.

Pada saat-saat kritis seperti itu, Abu Sufyan tampil kepermukaan seraya berkata, “Tampaknya, melihat pencemaran yang sulit dihapus kecuali dengan darah, Wahai keturunan Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar menangani urusanmu?”

Ia lalu datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib seraya mengulurkan tangannya dan berkata, “Ulurkan tanganmu, saya akan membai’atmu!”.

‘Ali bin Abi Thalib membentaknya seraya berkata kepadanya, “Kamu tidak menghendaki dari perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah. Saya tidak butuh nasihatmu!”

Dalam perang Yarmuk, ia ingin menebus semua dosanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Ia berperang mati-matian sampai salah satu matanya tercongkel.

Ia meninggal dunia pada tahun 33 Hijrah di usia 88 tahun pada zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiallâhu ‘anhu. Jenazahnya dishalati oleh putranya, Mu’awiyah, dan dikuburkan di Baqi’.

Sebab turunya ayat

Menurut Muhammad bin Ishaq dan murid-muridnya, ketika Abu Sufyan berhasil menyelamatkan kafilah Quraisy dari Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, sementara tokoh-tokoh Quraisy yang ingin melindungi kafilah itu berhasil diterwaskan dalam perang Badar, maka timbullah inisiatif Abu Sufyan untuk mengobarkan peperangan yang lebih dahsyat terhadap kaum muslimin dengan mengerahkan pasukan yang lebih besar dan terlatih, dan menghimpun dana yang lebih banyak, termasuk hasil penjualan barang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkannya itu. Ia berkata kepada kaumnya: “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membunuh tokoh-tokoh kalian maka dukunglah kami untuk menuntut balas dengan harta yang dapat kami selamatkan ini”.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan) buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya diatas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al-Anfaal: 36-37)

Renungan

Dirirwayatkan oleh ‘Urwah bin az–Zubair bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :”Ya Rasulullah, apakah engkau pernah merasa menghadapi kesulitan lebih dahsyat dari pada Perang Uhud?”

Beliau menajwab, “Aku telah menghadapi berbagai kesulitan yang lebih dahsyat dari kaummu, terutama ketika aku menawarkan Islam pada hari Aqibah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, namun dia tidak menjawab sepatah katapun. Kemudian, aku pergi dengan perasan pedih dan sedih. Aku tidak sadar, tiba-tiba aku tiba di Qarnits Tsa’alib. Ketika aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat awan sedang memayungiku dan mendengar Jibril memanggilku, ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar omongan kaummu dan reaksi mereka terhadap tawaran-tawaranmu, dan Dia telah mengirimkan Raja Pegunungan kepadamu agar kamu memerintahkan kepadanya apa yang kamu inginkan terhadap kaummu itu!”

Ujar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selanjutnya: “Lalu, Raja Pegunungan itu mengucapkan salam kepadaku dan berkata, ‘Ya Muhammad, Allah Ta’ala telah mendengar omongan-omongan kaummu terhadapmu. Aku Raja Pegunungan, Rabbmu telah mengutusku kepadamu untuk diperintahkan sesuai dengan yang kamu inginkan. Kalau kamu mau, aku akan menimpakan pegunungan ini di atas mereka!’

Aku menjawab, ‘Tidak, malah aku berharap Allah Ta’ala akan melahirkan dari mereka itu orang-orang yang akan menyembah Allah dan tidak musyrik sedikitpun kepada-Nya”.

Siapa gerangan mereka selalu menghalang-halangi penyebaran dakwah dan menyakiti hati Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu? Siapa gerangan orang yang senantiasa menyiksa kaum mustadh’afin di Mekkah dan lain-lain, setelah mereka memaklumatkan Islamnya? Siapa gerangan mereka yang telah mengusir Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari kampung halamannya dan menghalang-halangi penyebaran dakwahnya?

Sejarah mencatat nama-nama mereka dan tidak akan melupakannya. Mereka telah mendongakkan kepalanya, menutup rapat pintu hatinya, memejamkan matanya sehingga tidak melihat cahaya kebenaran memancar di hadapannya, dan memalingkan perhatian dari tanda-tanda hidayah dan keimanan.

Adapun tokoh-tokoh sesat yang paling terkenal di antara mereka ialah: Abu Jahal (al-Hakam bin Hisyam), Utbah bin Ra’biah, Syaibah bin Ra’biah, al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Mu’ith dan Abu Sufyan bin Harb.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mau mengutuk dan mendoakan kaumnya agar mendapat siksa seperti halnya umat para nabi yang terdahulu, setelah mereka tetap membangkang tidak mau menyambut dakwah para nabi mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bisa saja meneladani para nabi yang sebelumnya, memohon kepada Rabbnya untuk menghukum kaumnya yang jahat dan angkara murka itu, namun baginda sebagai Nabiyur-rahmah hanya bisa mengucapkan: ” semoga Allah akan melahirkan dari mereka keturunan yang mengabdikan diri kepada Allah!”

Sejarah telah mencatat juga kepada kita, berapa banyak dari keturunan mereka orang yang paling gigih memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan agamanya. Begitu juga dengan orang yang telah ikut serta menyebarkan agama ini ke seluruh penjuru bumi. Mereka sebagai kaum muslimin, baik sebagai prajurit, panglima, maupun sebagai dai, telah berhasil menyampaikan agama tauhid ini kepada kita.

Ikrimah bin Abu Jahal radhiallâhu ‘anhu sebagai contoh, ketika ia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyatakan Islamnya, ia disambut baginda, “Marhaban, selamat datang kepada sang musafir yang muhajir!”

Dia berkata, “Ya Rasulullah, ajarilah aku sesuatu yang terbaik yang baginda ketahui supaya aku mengucapkannya!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan, “Ucapkanlah syahadatain!”.

Ikrimah radhiallâhu ‘anhu mengucapkan syahadatain, lalu ia memohon ampun atas dosa-dosanya yang lalu dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberinya ampun. Kemudian, ia menyatakan janji, “Demi Allah, berapa besar dana yang telah aku keluarkan selama ini untuk menghalang-halangi penyebaran agama Allah, kini aku akan menebusnya dengan pengeluaran yang serupa dalam upaya mengembangkan agamaNya; berapa besar kegigihanku untuk memenangkan agama dan penganut agama itu”.

Ternyata, kesaksianya itu ia penuhi dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha menjadi ahli ibadah dan agama yang takwa, dan sekaligus menjadi pahalwan perang yang patut dibanggakan. Akhirnya, ia syahid dalam perang Yarmuk.

Begitu pula dengan Khalid bin Walid radhiallâhu ‘anhu, seperti yang dilukiskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya, ketika Khalid masuk Islam. Rasulullah bersabda, “Kota Mekkah telah melemparkan anak tersayangnya pada kalian!”

Sementara itu, Abu Bakar ash-Shidiq radhiallâhu ‘anhu berkata: “Kaum wanita kita belum mampu melahirkan anak seperti Khalid!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggelarinya “Saifullah” (Pedang Allah) terhadap kaum kafir dan musyrik. Tidak ada yang berani di hadapannya untuk menghadang dakwah kepada Allah.

Begitu pula dengan Abu Sufyan, yang senantiasa menjadi pimpinan tertinggi Quraisy dalam memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum uslimin, Allah Ta’ala berkenan kepadanya memberikan anak-anak yang besar jasanya dalam mengembangkan agama Allah, antara lain; Yazid bin Abi Sufyan yang digelari “Yazid al-Khair”. Ia berperang di pihak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di Hunain dan mendapat kemenangan perang di sana sebanyak seratus unta dan empat puluh uqiya (ukuran emas) yang ditimbangkan oleh Bilal. Dalam pemerintahan Khalifah Abu Bakar, ia diangkat menjadi seorang pembantunya, dan ketika hendak pergi ke posnya, Khalifah mengantarnya dengan berjalan kaki.

Diantaranya juga Mu’awiyah bin Abu Sufyan, penulis wahyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sunnguh benar apa yang diramalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa agama Islam akan dimasuki oleh banyak umat secara beramai-ramai dan berbondong-bondong.

Lalu, mana para tiran yang angkara murka itu? Mana mereka yang dengan gigih hendak menghalang-halangi penyebaran agama Allah itu? Mana para penguasa diktator yang mengangkat dirinya sebagai tuhan dimuka bumi, yang mendekatkan orang yang dicintainya, dan menyiksa serta menganiaya orang yang dibencinya meskipun tanpa salah dan dosa.

Mana mereka itu sekarang? Mereka sudah pergi setelah menderita kekalahan, baik karena tewas, maupun terusir, sementara agama Allah Ta’ala tetap berjaya, panji kebenaran senantiasa berkibar-kibar dengan megah, sesuai dengan janji-Nya untuk dimenangkan di atas agama-agama yang lainnya (at-Taubah: 33)

Allah Ta’ala juga sudah berjanji, “Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh”. (al-Anbiyaa’: 105)

Apakah ada diantara para tiran abad ke-21, para penguasa angkara murka yang merusak bumi dan merusak semua yang hidup diatasnya, yang mau merenunginya? Apakah mereka belum juga mau sadar bahwa pada akhirnya tentara Allah jugalah yang akan meraih kemenangan akhir? Apakah mereka masih saja belum sadar, sebelum berbagai musibah dan petaka datang bertubi-tubi menimpa mereka?

Sesungguhnya kemenangan Allah sudah dekat sekali. Pada saat itu kaum mukminin akan bersuka cita atas kemenangan Allah itu.

Kisah Teladan Al Imam Syafi'i RA

Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad. Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.

Penghijrahan ke Palestina
Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestina kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.

Kelahiran dan Kehidupannya
Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestina pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.

PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I

Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitasnya.

Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )
Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestina ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.
Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).

Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.

Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )
Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun. Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.

Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )
Ketika Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran. Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.

Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )
Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa arti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y. Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.

Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.

Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )
Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.

Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.

Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H )
Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personalitas dan aliran fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).

Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.

Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.
Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”
Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqah dan lain-lain.

Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )
Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.

Imam As-Shafi’i wafat pada tahun 204H. Asas Fiqih dan Ushul Fiqih kemudian disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.

FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I

Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau Qaul Jadid.

Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.

PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I

Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-

1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.
2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.
4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.

Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :-

1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241H.
2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.
3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.
4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.
5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.
6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.
8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.
10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.

Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :-

1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.
2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H.
3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.
4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.
5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.
6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun 268H.
7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.

Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya.

PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I

Menurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya di merata-rata tempat, di kota dan di desa, di seluruh rantau negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China. Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita sejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i sebagai seorang tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqah yang mencabar aliran zamannya.

IMAM AL-SHAFI’I DAN KITABNYA

Permulaan Mazhabnya
Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pembentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-Hadith”.

Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada tiga peringkat :-

1. Peringkat Makkah (186 – 195H)
2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)
3. Peringkat Mesir (199 – 204H)

Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.

Penulisan Pertamanya

Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.

Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama dan baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di Iraq.

Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah kitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpun hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.

Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.

Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim

Di samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu Fiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliau berpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 – 197H.

Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu Fiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :-

1. Al-Amali
2. Majma’ al-Kafi
3. ‘Uyun al-Masa’il
4. Al-Bahr al-Muhit
5. Kitab al-Sunan
6. Kitab al-Taharah
7. Kitab al-Solah
8. Kitab al-Zakah
9. Kitab al-Siam
10. Kitab al-Haj
11. Bitab al-I’tikaf
12. Kitab al-Buyu’
13. Kitab al-Rahn
14. Kitab al-Ijarah
15. Kitab al-Nikah
16. Kitab al-Talaq
17. Kitab al-Sadaq
18. Kitab al-Zihar
19. Kitab al-Ila’
20. Kitab al-Li’an
21. Kitab al-Jirahat
22. Kitab al-Hudud
23. Kitab al-Siyar
24. Kitab al-Qadaya
25. Kitab Qital ahl al-Baghyi
26. Kitab al-‘Itq dan lain-lain

Setengah perawi pula telah menyebut bahwa kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i adalah di dalam bentuk jawaban dan perdebatan, iaitu satu penulisan yang dituju khas kepada fuqaha’ ahl al-Ra’y sebagai menjawab kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan fuqaha’ Al-Madinah. Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i : Ashab Al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah meminta saya menulis satu jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu.Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan untuk (bacaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapat menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad.

Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawaban dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan cara penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, iaitu di antara tahun-tahun 184 – 186H.

Method Penulisan Kitab-Kitab Qadim

Berhubung dengan method penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat kita pastikan dengan yakin kerana sikap asalnya tida kita temui, kemungkinan masih lagi ada naskah asalnya dan kemungkinan juga ianya sudah hilang atau rosak dimakan zaman. Walaubagaimanapun ia tidak terkeluar – ini hanya satu kemungkinan sahaja – dari method penulisan zamannya yang dipengaruhi dengan aliran pertentangan mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapa masalah, umpamanya pertentangan yang berlaku di antara mazhab beliau dengan Mazhab Hanafi da juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap bab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqah yang tunduk kepada tajuk besar iaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, ia mengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”.

Perawi Mazhab Qadim
Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di antara mereka yang termasyhur hanya empat orang sahaja :

1. Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240H.
2. Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260H.
3. Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245H.
4. Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241H.

Menurut Al-Asnawi, Al-Shafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannya meliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.

Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim
Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199H menyebabkan berlakunya satu rombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpuncak dari penemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau kerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadis-hadis itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah kesahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan kerana itu beliau telah menolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhab saya”.

Di dalam kitab “Manaqib Al-Shafi’i”, Al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa buah kitab lama (Mazhab Qadim) yang disemak semula oleh Al-Shafi’i dan diubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :-

1. Al-Risalah
2. Kitab al-Siyam
3. Kitab al-Sadaq
4. Kitab al-Hudud
5. Kitab al-Rahn al-Saghir
6. Kitab al-Ijarah
7. Kitab al-Jana’iz

Menurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitab lamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah. Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i melarang para sahabatnya meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolak kepada orang ramai. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di sana-sini di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya samada kitab-kitab yang ditulis fuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian.

Kemungkinan hal ini berlaku dengan kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani, Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum, terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak mengetahui larangan beliau itu.
Para fuqaha’ itu bukan sahaja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong oleh hadis-hadis yang sahih.
Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendak Al-Shafi’i, malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah mazhab saya”.

Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadis yang sahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i :-
Pertamanya : Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahid Mazhab Al-Shafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Shafi’i yang tidak dimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Shafi’i) apabila ia mengeluarkan pendapat barumya yang bercanggah dengan pendapat lamanya tidaklah bererti bahawa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.
Keduanya : Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah dua pendapatnya yang bertentangan yang mustahil dapat diselaraskan kedua-duanya.

Kitab-kitab Mazhab Jadid

Di antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :-

i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpindah ke Mesir.
ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab “Al-Um”, seperti :-

a) Di dalam bab Taharah :
1. Kitab al-Wudu’
2. Kitab al-Tayammum
3. Kitab al-Taharah
4. Kitab Masalah al-Mani
5. Kitab al-Haid
B) Di dalam bab Solah :
6. Kitab Istiqbal al-Qiblah
7. Kitab al-Imamah
8. Kitab al-Jum’ah
9. Kitab Solat al-Khauf
10. Kitab Solat al-‘Aidain
11. Kitab al-Khusuf
12. Kitab al-Istisqa’
13. Kitab Solat al-Tatawu’
14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah
15. Kitab al-Jana’iz
16. Kitab Ghasl al-Mayyit
c) Di dalam bab Zakat :
17. Kitab al-Zakah
18. Kitab Zakat Mal al-Yatim
19. Kitab Zakat al-Fitr
20. Kitab Fard al-Zakah
21. Kitab Qasm al-Sadaqat
d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :
22. Kitab al-Siyam al-Kabir
23. Kitab Saum al-Tatawu’
24. Kitab al-I’tikaf
e) Di dalam bab Haji :
25. Kitab al-Manasik al-Kabir
26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir
27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir
f) Di dalam bab Mu’amalat :
28. Kitab al-Buyu’
29. Kitab al-Sarf
30. Kitab al-Salam
31. Kitab al-Rahn al-Kabir
32. Kitab al-Rahn al-Saghir
33. Kitab al-Taflis
34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir
35. Kitab al-Sulh
36. Kitab al-Istihqaq
37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah
38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah
39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib
40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir
41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi
42. Kitab al-‘Ariah
43. Kitab al-Ghasb
44. Kitab al-Shaf’ah
g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :
45. Kitab al-Ijarah
46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah
47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat
48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir
49. Kitab Kara’ al-Ard
50. Kara’ al-Dawab
51. Kitab al-Muzara’ah
52. Kitab al-Musaqah
53. Kitab al-Qirad
54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat
h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :
55. Kitab al-Mawahib
56. Kitab al-Ahbas
57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba
i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :
58. Kitab al-Wasiat li al-Warith
59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq
60. Kitab Taghyir al-Wasiah
61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit
62. Kitab Wasiyat al-Hamil
j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :
63. Kitab al-Mawarith
64. Kitab al-Wadi’ah
65. Kitab al-Luqatah
66. Kitab al-Laqit
k) Di dalam bab Nikah :
67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah
68. Kitab Tahrim al-Jam’i
69. Kitab al-Shighar
70. Kitab al-Sadaq
71. Kitab al-Walimah
72. Kitab al-Qism
73. Kitab Ibahat al-Talaq
74. Kitab al-Raj’ah
75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz
76. Kitab al-Ila’
77. Kitab al-Zihar
78. Kitab al-Li’an
79. Kitab al-‘Adad
80. Kitab al-Istibra’
81. Kitab al-Rada’
82. Kitab al-Nafaqat
l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :
83. Kitab Jirah al-‘Amd
84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat
85. Kitab Istidam al-Safinatain
86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin
87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad
88. Khata’ al-Tabib
89. Jinayat al-Mu’allim
90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam
91. Kitab al-Qasamah
92. Saul al-Fuhl
m) Di dalam bab Hudud :
93. Kitab al-Hudud
94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah
95. Qutta’ al-Tariq
96. Sifat al-Nafy
97. Kitab al-Murtad al-Kabir
98. Kitab al-Murtad al-Saghir
99. Al-Hukm fi al-Sahir
100. Kitab Qital ahl al-Baghy
n) Di dalam bab Siar dan Jihad :
101. Kitab al-Jizyah
102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i
103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi
104. Kitab Qital al-Mushrikin
105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul
106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy
107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah
o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :
108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab
109. Kitab al-Dahaya al-Kabir
110. Kitab al-Dahaya al-Saghir
111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih
112. Kitab Dhabaih Bani Israil
113. Kitab al-Ashribah
p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :
114. Kitab Adab al-Qadi
115. Kitab al-Shahadat
116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid
117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat
118. Kitab al-Aqdiah
119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur
q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :
120. Kitab al-‘Itq
121. Kitab al-Qur’ah
122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah
123. Kitab al-Wala’ wa al-Half
124. Kitab al-Wala’ al-Saghir
125. Kitab al-Mudabbir
126. Kitab al-Mukatab
127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad
128. Kitab al-Shurut

Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’, seperti :-

1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith
2. Kitab Jima’ al-Ilm
3. Kitab Ibtal al-Istihsan
4. Kitan Ahkam al-Qur’an
5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla
6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy
7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i
8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin
9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan
10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah
11. Kitab Fada’il Quraysh

Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengah ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.